PKL 2 (TEKNIK PEMERIKSAAN HISTEROSALPHINGOGRAFI PADA KASUS INFERTILITAS SEKUNDER)

TEKNIK PEMERIKSAAN HISTEROSALPHINGOGRAFI PADA KASUS
INFERTILITAS SEKUNDER DI INSTALASI RADIOLOGI

RUMAH SAKIT KRISTEN NGESTI WALUYO

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Penggunaan sinar-X untuk kepentingan radiologi diagnostik mulai dikenal pada saat seorang ilmuwan Jerman bernama Wilhelm Conrad Roentgen, menemukan sinar-X pada tahun 1895. Sinar-x ini dimanfaatkan untuk bidang radiologi diagnostik karena sifatnya yang dapat berinteraksi dengan bahan (organ) dalam memberikan gambaran diagnostik, meskipun sinar-X juga menimbulkan efek radiasi bagi manusia. Ilmu pengetahuan, khususnya di bidang imaging, semakin berkembang dengan ditemukannya berbagai modalitas mutakhir guna menunjang diagnosa penyakit yang lebih aman dan akurat, seperti ultrasonografi (USG), Computed Tomography Scan (CT Scan) maupun Magnetic Resonance Imaging (MRI), tetapi penggunaan sinar-X dalam mendiagnosa suatu penyakit tidak dapat dikesampingkan begitu saja.
Salah satu pemanfaatan sinar-X untuk mendiagnosa suatu penyakit atau kelainan organ manusia adalah hysterosalpingography atau dikenal dengan HSG. Pemeriksaan HSG adalah pemeriksaan secara radiografi dengan memasukkan media kontras pada uterus dan tuba fallopi untuk menentukan ukuran, bentuk dan letak dari uterus dan tuba fallopi.Pemeriksaan HSG kini telah menjadi pemeriksaan rutin ditiap rumah sakit, khususnya yang mempunyai pesawat dngan kemampuan cukup untuk pemeriksan HSG. Pemeriksaan ini dilakukan sendiri oleh ahli radiologi dengan atau tanpa bantuan fluoroskopi.
Salah satu indikasi dari pemeriksaan hysterosalpingography ( HSG ) adalah infertilitas baik infertilitas primer maupun infertilitas sekunder.Infertilitas adalah suatu kondisi atau bisa juga penyakit pada sistem reproduksi yang menyebabkan pasangan yang berhubungan intim dengan teratur, tanpa alat kontrasepsi, tidak dapat menghasilkan keturunan dalam waktu satu tahun. Atau bisa pula keadaan pada wanita yang mengalami keguguran berulang kali. Berdasarkan uraian diatas dan untuk mengkaji lebih jauh tentang pemeriksaan hysterosalpingography ( HSG ) pada kasus infertilitas, maka penulis mengangkatnya pada kontrak belajar dengan judul ”Teknik Pemeriksaan Histerosalpingography Pada Kasus Infertilitas Sekunder”

1.2  Rumusan Masalah
Berikut adalah rumusan-rumusan masalah yang akan dibahas dalam laporan kasus ini:
a)      Bagaimana teknik pemeriksaan histerosalpingografi dengan kasus Interfilitas Sekunder di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Kristen Ngesti Waluyo?
b)      Mengapa teknik pemeriksaan histerosalpingografi di Rumah Sakit Kristen Ngesti Waluyo tidak dilakukan plain foto?
c)      Kekurangan dan kelebihan dari teknik pemeriksaan histerosalphingografi tanpa plain foto ?
d)     Mengapa teknik pemeriksaan histerosalpingografi di Rumah Sakit Kristen Ngesti Waluyo menggunakan kateter?
e)      Kekurangan dan kelebihan dari teknik pemeriksaan histerosalphingografi menggunakan kateter?

1.3 Tujuan Penulisan
                        Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah sebagai berikut:
1.      Tujuan Umum
a.       Untuk memenuhi syarat kelulusan Mata Kuliah Praktek Kerja Lapangan II
2.      Tujuan Khusus
a.       Untuk mengetahui teknik pemeriksaan histerosalphingografi dengan kasus Interfilitas Sekunder.
b.      Untuk mengetahui latar belakang di buatnya pemeriksaan histerosalphingografi tanpa plain foto.
c.       Mahasiswa dapat menentukan faktor exposi yang akan digunakan untuk pemeriksaan.
d.      Mahasiswa dapat mengetahui alat-alat yang dibutuhkan dalam melakukan pemeriksaan.


1.4 Manfaat Penulisan
1. Menambah pengalaman dan pengetahuan penulis dalam melakukan pemeriksaan histerosalphingografi.
2. Sebagai bahan informasi dan referensi bagi mahasiswa khususnya mahasiswa Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Semarang.
3. Memberikan informasi dan gambaran yang jelas tentang pemeriksaan histerosalpingografi.


1.5 Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan penulisan laporan kasus ini, maka sistematika penilaiannya terdiri atas:
BAB I           PENDAHULUAN
                         Yang meliputi : Latar Belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan dan sistematika penulisan
BAB II         TINJAUAN PUSTAKA
                         Yang meliputi : Anatomi dan fisiologi organ genetalia, patologi , peralatan dan proyeksi yang digunakan.
BAB III        HASIL DAN PEMBAHSAN
                      Terdiri dari kasus dan pembahasan.
BAB IV        PENUTUP
                      Berisikan simpulan dan saran
DAFTAR PUSTAKA
Lampiran
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Anatomi dan Fisiologi Organ Genetalia Wanita
2.1.1 Organ Genetalia Eksterna Wanita

                                Gambar 1. Organ Genitalia Wanita Eksterna Wanita

a. Mons veneris yang di tumbuhi bulu       f. Orifisium vagina
b. Labia mayora                                          g. Himen
c. Labia minora                                           h. Fouschettx
d. Klitoris                                                   i. Perineum
e. Orifisium uretra                                      j. Anus

                    Meliputi semua organ-organ diantar os pubis, ramus inferior dan perineum adalah :
a.         Mons Veneris
                        Mons Veneris merupakan bagian yang menonjol dan terdiri dari jaringan lemak yang menutupi bagian depan simpisis pubis, dan setelah masa pubertas kulit mons veneris akan di tumbuhi oleh rambut.
b.         Labia Mayora
      Labia mayora berbentuk lonjong dan menonjol, beasal dari mons veneris dan berjalan ke bawah dan belakang. Yaitu dua lipatan kulit yang tebal membentuk sisi vulvadan terdiri dari kulit, lemak, pembuluh darah, jaringan otot polos dan syaraf. Labia mayora sinistra dan dextra bersatu di sebelah belakangdan merupakan batas depan dari perinium, yang disebut commisura posterior (frenulum), dan panjangnya       kira – kira 7, 5 cm.
Labia Mayora terdiri daridua permukaan :
1.   Bagian luar, menyerupai kulit biasa dan ditumbuhi rambut.
2.   Bagian dalam menyerupai selaput lendir dan mengandung banyak kelenjar sebacea.
c.       Labia Minora
Labia minora merupakan lipatan sebelah medial dari labia mayoraMerupakan lipatan kecil dari kulit diantara bagian superior labia mayora. Sedangkan labianya mengandung jaringan erektil. Kedua lipatan tersebut bertemu dan membentuk superior sebagai preputium klitoridis pada bagian superior dan inferior sebagai klitoridis pada bagian inferior
d.   Klitoris
      Klitoris merupakan sebuah jaringan erektil kecil, banyak mengandung urat-urat syaraf sensoris yang dibentuk oleh suatu ligamentum yang bersifat menahan ke depan simpisis pubis dan pembuluh darah. Panjangnya kurang lebih 5 cm. klitoris identik dengan penis tetepi ukurannya lebih kecil dan tak ada hubungannya dengan uretra.
e.     Hymen (selaput Dara)
      Hymen adalah diafragma dari membrane yang tipis dan menutupi sebagian besar introitus vagina, di tengahnya terdapat lubang dan melalui lubang tersebut kotoran menstruasi dapat mengalir keluar. Biasanya hymen berlubang sebesar jari, letaknya di bagian mulut vagina memisahkan genitalia eksterna dan interna.
f.     Vestibulum
      Vestibulum merupakan rongga yang sebelah lateralnya dibatasi oleh kedua labia minora, anterior oleh klitoris, dorsal oleh fourchet. Pada vestibulum terdapat muara-muara dari vagina uretra dan terdapat juga 4 lubang kecil yaitu: 2 muara dari kelenjar Bartholini yang terdapat disamping dan agak kebelakang dari introitut vagina, 2 muara dari kelenjar skene disamping dan agak dorsal dari uretra.

2.1.2. Organ Genetalia Interna wanita
                                           Gambar 2. Organ Genitalia Interna Wanita
1. Rugae vaginalis                          7. Ovarium
2. Kavum uteri                                8. Mesovarium
3. Portio                                          9. Endometrium
4. Tuba pars interstitialis                 10. Miometrium
5. Ismus tuba                                  11. Fimbrae
6. Ampula tuba

Organ genetalia interna meliput :
a.    Vagina
         Vagina  merupakan saluran yang menghubungkan uterus dengan vulva dan merupakan tabung berotot yang dilapisi membran dari jenis epitelium bergaris khusus dan dialiri banyak pembuluh darah serta serabut saraf secara melimpah. Panjang Vagina kurang lebih 10 – 12 cm dari vestibula ke uterus, dan letaknya di antara kandung kemih dan rektum. Vagina mempunyai fungsi yaitu : sebagai saluran keluar dari uterus yang dapat mengalirkan darah menstruasi, sebagai jalan lahir pada waktu partus.
b.    Uterus
 

                                              Ilustrasi. Struktur Bagian Dalam Uterus
         Uterus merupakan alat yang berongga dan berbentuk sebagai bola lampu yang gepeng dan terdiri dari 2 bagian : korpus uteri yang berbentuk segitiga dan servix uteri yang berbentuk silindris. Bagian dari korpus uteri antara kedua pangkal tuba disebut fundus uteri (dasar rahim).
          Bentuk dan ukuran uterus sangat berbada-bada tergantung dari usia, dan pernah melahirkan anak atau belum. Cavum uteri (rongga rahim) berbentuk segitiga, melebar di daerah fundus dan menyempit kearah cervix. Sebelah atas rongga rahim brhubungan dengan saluran indung telur (tuba follopi) dan sebelah bawah dengan saluran leher rahim (kanalis cervikalis). Hubungan antara kavum uteri dengan kanalis cervikalis disebut ostium uteri internum, sedangkan muara kanalis cervikalis kedalam vagina disebut ostium uteri eksternum. Dinding rahim terdiri dari 3 lapisan : Perimetrium (lapisan peritoneum) yang meliputi dinding uteru bagian luar, Myometrium (lapisan otot) merupakan lapisan yang paling tebal, Endometrium (selaput lendir) merupakan lapisan bagian dalam dari korpus uteri yang membatasi kavum uteri.
c.    Tuba Fallopi
         Tuba Fallopi terdapat pada tepi atas ligamentum latum, berjalan kearah lateral, mulia dari kornu uteri kanan kiri yang panjangnya ­­­­­­­­­­­kurang lebih 12 cm dan diameternya 3- 8 mm. Fungsi tuba yang utama adalah untk membawa ovum yang dilapaskan ovarium ke kavum uteri.
         Pada tuba ini dapat dibedakan menjadi 4 bagian, sebagai berikut :
1.    Pars interstitialis (intramularis), bagian tuba yang berjalan dalam dinding uterus mulai pada ostium internum tubae.
2.    Pars Ampullaris, bagian tuba antara pars isthmixca dan infundibulum dan merupakan bagian tuba yang paling lebar dan berbentuk huruf S.
3.    Pars Isthmica, bagian tuba sebelahkeluar dari dinding uerus dan merupakan bagian tuba yang lurus dan sempit.
4.    Pars Infundibulum, bagian yang berbentuk corong dan lubangnya menghadap ke rongga perut, Bagian ini mempunyai fimbria yang berguna sebagai alat penangkap ovum.
d.    Ovarium
      Ovarium terdapat di dalam rongga panggul di sebelah kanan maupun sebelah kiri dan berbentuk seperti buah kenari. Ovarium berfungsi memproduksi sel telur, hormon esterogen dan hormon progesteron.

2.2.            Patologi Infertilitas
          Infertilitas adalah ketidakmampuan sepasang suami istri untuk memiliki keturunan dimana wanita belum mengalami kehamilan setelah bersenggama secara teratur 2-3 x / mgg, tanpa mamakai matoda pencegahan selama 1 tahun

Ada 2 jenis infertilitas :
• Infertilitas primer : bila pasangan tersebut belum pernah mengalami kehamilan sama sekali.
• Infertilitas sekunder : bila pasangan tersebut sudah pernah melahirkan namun setelah itu tidak pernah hamil lag
i.

          Infertilitas tidak semata-mata terjadi kelainan pada wanita saja. Hasil penelitian membuktikan bahwa suami menyumbang 25-40% dari angka kejadian infertil, istri 40-55%, keduanya 10%, dan idiopatik 10%. Hal ini dapat menghapus anggapan bahwa infertilitas terjadi murni karena kesalahan dari pihak wanita/istri.
Berbagai gangguan yang memicu terjadinya infertilitas
pada wanita antara lain:
            • Gangguan organ reproduksi
1. Infeksi vagina sehingga meningkatkan keasaman vagina yang akan membunuh sperma dan pengkerutan vagina yang akan menghambat transportasi sperma ke vagina
2. Kelainan pada serviks akibat defesiensi hormon esterogen yang mengganggu pengeluaran mukus serviks. Apabila mukus sedikit di serviks, perjalanan sperma ke dalam rahim terganggu. Selain itu, bekas operasi pada serviks yang menyisakan jaringan parut juga dapat menutup serviks sehingga sperma tidak dapat masuk ke rahim
3. Kelainan pada uterus, misalnya diakibatkan oleh malformasi uterus yang mengganggu pertumbuhan fetus, mioma uteri dan adhesi uterus yang menyebabkan terjadinya gangguan suplai darah untuk perkembangan fetus dan akhirnya terjadi abortus berulang
4. Kelainan tuba falopii akibat infeksi yang mengakibatkan adhesi tuba falopii dan terjadi obstruksi sehingga ovum dan sperma tidak dapat bertemu

• Gangguan ovulasi
                        Gangguan ovulasi ini dapat terjadi karena ketidakseimbangan hormonal seperti adanya hambatan pada sekresi hormon FSH dan LH yang memiliki pengaruh besar terhadap ovulasi. Hambatan ini dapatterjadi karena adanya tumor kranial, stress, dan penggunaan obat-obatan yang menyebabkan terjadinya disfungsi hipothalamus dan hipofise. Bila terjadi gangguan sekresi kedua hormon ini, maka folicle mengalami hambatan untuk matang dan berakhir pada gengguan ovulasi.

• Kegagalan implantasi
Wanita dengan kadar progesteron yang rendah mengalami kegagalan dalam mempersiapkan endometrium untuk nidasi. Setelah terjadi pembuahan, proses nidasi pada endometrium tidak berlangsung baik. Akiatnya fetus tidak dapat berkembang dan terjadilah abortus.

• Endometriosis
• Abrasi genetis
• Faktor immunologis
                        Apabila embrio memiliki antigen yang berbeda dari ibu, maka tubuh ibu memberikan reaksi sebagai respon terhadap benda asing. Reaksi ini dapat menyebabkan abortus spontan pada wanita hamil.

• Lingkungan 
                        Paparan radiasi dalam dosis tinggi, asap rokok, gas ananstesi, zat kimia, dan pestisida dapat menyebabkan toxic pada seluruh bagian tubuh termasuk organ reproduksi yang akan mempengaruhi kesuburan.

2.3 Teknik Pemeriksaan Histerosalphingografi
2.3.1 Persiapan Pemeriksaan
2.3.1.1       Persiapan Pasien
Persiapan penderita untuk pemeriksaan HSG adalah sebagai berikut:
a.     Penderita sejak hari pertama menstruasi yang terakhir sampai hari kesepuluh tidak diperkenankan melakukan persetubuhan (koitus) terlebih dahulu.
b.    Pada pemeriksaan sebaiknya rektum dalam keadaan kosong, hal ini dapat dilakukan dengan memberi penderita tablet dulcolak suposutoria beberapa jam sebelum pemeriksaan atau sebelum lavemen.
c.    Untuk mengurangi ketegangan dan rasa sakit, atas perintah dokter penderita dapat diberi obat penenang, dan anti spasmodik.
d.    Sebelum pemeriksaan yang dilakukan penderita untuk buang air kecil terlebih dahulu untuk menghindari agar penderita tidak buang air selama jalannya pemeriksaan sehingga pemeriksaan tidak terganggu dan berjalan lancar.
e.    Berikan penjelasan pada pasien maksud dan tujuan pemeriksaan yang akan dilakukan, serta jalannya pemeriksaan agar pasien merasa aman dan tenang sehingga dapat diajak kerjasama demi kelancaran pemeriksaan.

2.3.1.2       Persiapan Alat dan Bahan
                               Persiapan  alat dan bahan adalah sebagai berikut :
a.     Persiapan alat

1)        spekulum vagina
2)        tenekulum
3)        hiterosalpingograf set
4)        spuit 20 cc
5)        sarung tangan
6)        pinset
7)        lampu
8)        mangkok
9)        sonde uteri

b.     Persiapan bahan:
1)      kassa steril
2)      cairan desinfektan
3)      cairan NaCl
4)      media kontras
pada awalnya media kontras yang digunakan adalah lipidol tetapi skarang media kontras lebih banyak menggunakan media kontras yang terbuat dari bahan yang mudah larut dalam air misalnya Urografin 60%, hipaque 50%, diagnol viscous dan lain-lain.
2.3.2. Teknik pemeriksaan
2.3.2.1  Plain Foto
Posisi pasien :
a)          Supine
b)        MSP tubuh segaris dengan pertengahan IR atau mid-line meja pemeriksaan
c)         Lengan diletakkan disamping tubuh dan agak jauh dari tubuh pasien
Posisi obyek                        :          
a)          Sentrasi 2 inci diatas symphisis pubis
b)         Tidak ada rotasi pada pelvis
c)         Kedua SIAS berjarak sama terhadap permukaan meja pemeriksaan
Arah sinar (CR)        : Vertikal tegak lurus kaset
Titik bidik (CP)        : 2 inci diatas symphisis pubis
                                 Respirasi                   : Ekspose pada saat akhir ekspirasi dan tahan nafas
Faktor eksposi          : kV    =  75        FFD = 100cm
                                    mAS   = 30     Kaset = 24 X 30 cm


2.3.2.2      Teknik pemasukan media kontras
1)        Pasien tidur supine di atas meja pemeriksaan, bagian bokong pasien diberi alas.
2)        Posisi pasien litotomi (cytoscopic position), lutut fleksi. sebelum dilakukan pemasangan alat HSG, pasien diberitahukan tentang pemasangan alat dengan maksud agar pasien mengerti dan tidak takut.
3)        Lampu sorot diarahkan kebagian genetalia untuk membantu penerangan.
4)        Bagian genetalia eksterna dibersihkan dengan betadine menggunakan kassa
5)        steril.
6)        Speculum dimasukkan ke liang vagina secara perlahan-lahan.
7)        Cervix dibersihkan dengan betadine menggunakan kassa steril dan alat
8)        Untuk mengetahui arah dan dalamnya cavum uteri digunakan sonde uterus.
9)        Portio dijepit dengan menggunakan tenaculum agar bagian dalam cervix dapat terbuka.
10)    Conus dipasang pada alat canulla injection yang telah dihubungkan dengan syiringe yang berisi bahan kontras kemudian dimasukkan melalui liang vegina sehingga conus masuk ke dalam osteum uteri oksterna (ke dalam cervix).
11)    Tenaculum dan alat salphingograf di fixasi, agar kontras media yang akan dimasukkan tidak bocor.
12)    Speculum dilepas perlahan-lahan
13)    Pasien dalam keadaan supine digeser ketengah meja pemeriksaan, kedua tungkai bawah pasien diposisikan lurus.
14)    Kemudian fluoroscopy pada bagian pelvis dan bahan kontras disuntikkan hingga terlihat spill pada kedua belah sisi.

2.3.2.3  Proyeksi Anteroposterior

Posisi pasien:
a)      Supine
b)      Kedua tangan diatas kepala
c)      MSP tubuh segaris dengan pertengahan IR atau mid-line meja pemeriksaan
Posisi objek
a)      Bagin pelvis berada pada pertengahan meja pemeriksaan.
b)      kedua kaki posisi litotomi.

Arah sinar (CR)     : Vertikal tegak lurus kaset
Titik bidik (CP)      : 2 inci diatas symphisis pubis
Faktor eksposi        : kV    =  75        FFD = 100cm
mAS   = 30     Kaset = 24 X 30 cm
Exposi : Pada saat media kontras di masukkan 5 cc.

2.3.2.4 Proyeksi Oblique Kanan
Posisi pasien:
a)      Supine
b)      Tungkai kanan lurus, panggul bagian kiri diangkat kira-kira 45°, panggul kanan merapat ke meja pemeriksaan, kedua tangan diatas kepala, meja dalam keadaan trendenberg.
c)      MSP tubuh segaris dengan pertengahan IR atau mid-line meja pemeriksaan

Posisi objek
a)      Bagin pelvis berada pada pertengahan meja pemeriksaan.

Arah sinar (CR)     : Vertikal tegak lurus kaset
Titik bidik (CP)      : Pertengahan SIAS dan symphisis pubis bagian axilare line kanan
Faktor eksposi        : kV    =  75        FFD = 100cm
mAS   = 30     Kaset = 24 X 30 cm







 








                                            Gb. Posisi Pasien Proyeksi Oblique Kanan

2.3.2.5       Proyeksi Oblik Kiri
Posisi pasien:
a)      Supine
b)      Tungkai kiri lurus, panggul bagian kanan diangkat kira-kira 45°, panggul kiri merapat ke meja pemeriksaan, kedua tangan diatas kepala, meja dalam keadaan trendenberg.
c)      MSP tubuh segaris dengan pertengahan IR atau mid-line meja pemeriksaan

Posisi objek
a)      Bagin pelvis berada pada pertengahan meja pemeriksaan.

Arah sinar (CR)     : Vertikal tegak lurus kaset
Titik bidik (CP)      : Pertengahan SIAS dan symphisis pubis bagian axilare line kiri
Faktor eksposi        : kV    =  75        FFD = 100cm
mAS   = 30     Kaset = 24 X 30 cm




2.3.2.6       Post Evakuasi Proyeksi Anteroposterior.
Posisi pasien :
a)      Supine
b)      MSP tubuh segaris dengan pertengahan IR atau mid-line meja pemeriksaan
c)      Lengan diletakkan disamping tubuh dan agak jauh dari tubuh pasien
Posisi obyek              :          
a)      Sentrasi 2 inci diatas symphisis pubis
b)      Tidak ada rotasi pada pelvis
c)      Kedua SIAS berjarak sama terhadap permukaan meja pemeriksaan
Arah sinar (CR)     : Vertikal tegak lurus kaset
Titik bidik (CP)      : 2 inci diatas symphisis pubis
                                
Faktor eksposi        : kV    =  75        FFD = 100cm
                                 mAS   = 30     Kaset = 24 X 30 cm






BAB III
PROFIL KASUS DAN PEMBAHASAN

3.1  Hasil Penelitian
Identitas Pasien
Nama                  : Ny. T
Umur                  : 37 th
Jenis kelamin      : Wanita
Alamat               : Kuncen 02/04, Jombor, Jumo, Temanggung
No. RM              : 00389129
No. Foto             : 2965
Tanggal foto       : 05-05-2014
Klinis Pasien        :Infertilitas Sekunder(sudah pernah memiliki anak berumur 22 tahun, sekarang ingin memiliki anak lagi)
Pemeriksaan       : Histerosalpingografi (HSG)

3.2  Prosedur Pemeriksaan
3.2.1        Persiapan Alat dan Bahan
a.    Pesawat sinar X
Nama/Merk     : Siemens Multix Swing
No. Seri Tabung:
Kv Maksimum:135 Kv
Ma Maksimum: 90 Ma
Jenis Tabung: Single
b.    Imaging Plate ukuran 30 x 43
c.    CR
d.    Apron
e.    Betadhine
f.     Kasa steril
g.    Spluit 10 cc (2 buah)
h.    Aquades
i.      Handscoon
j.      Peralatan HSG kateter meliputi : 
·         speculum vagina sepasang
·         polycatteter
·         cocor bebek
·         Cawan steril 3 buah
·         klem

3.2.2    Persiapan Pasien
1. pemeriksaan dilakukan pada hari ke 10 atau 11 terhitung sejak hari pertama haid terakhir (HPHT)
2. Pasien tidak diperkenankan melakukan hubungan sex sejak haid sampai pemeriksaan dilakukan.
3. Pasien mencukur rambut pada daerah kemaluan sebelum pemeriksaan
4. Pasien datang pada hari dan jam yang telah ditentukan oleh perawat atau petugas.

3.2.3        Teknik Pemeriksaan
3.2.3.1  Pemasangan Alat dan Pemasukan Kontras
1.      Pasien tidur supine di atas meja pemeriksaan.
2.      Posisi pasien litotomi (cytoscopic position), lutut fleksi. sebelum dilakukan pemasangan alat HSG, pasien diberitahukan tentang pemasangan alat dengan maksud agar pasien mengerti dan tidak takut.
3.      Lampu sorot diarahkan kebagian genetalia untuk membantu penerangan.
4.      Bagian genetalia eksterna dibersihkan dengan betadine menggunakan kassa steril.
5.      Speculum yang telah diberi gel dimasukkan ke liang vagina secara perlahan-lahan.
6.      Cervix dibersihkan dengan betadine menggunakan kassa steril dan alat.
7.      Untuk mengetahui arah dan dalamnya cavum uteri digunakan sonde uterus.
8.      Poly cateter dimasukkan perlahan sampaicanalis cervikalis, balon dikembangkan dengan mengisi udara sebanyak 1,5 cc. kemudian cateter ditarik untuk memastikan balon telah menetap dan sempurna.pada saat memasukkan cateter dibantu dengan alatcocor bebek dan lampu sorot
9.      Setelah cateter fix, speculum vagina dilepas perlahan-lahan
10.  Kaki pasien diluruskan dan pasien digeser perlahan ketengah meja pemeriksaan.


3.2.3.2 AP Supine
Posisi pasien:
d)     Supine
e)      Kedua tangan diatas kepala
f)       MSP tubuh segaris dengan pertengahan IR atau mid-line meja pemeriksaan
Posisi objek
c)      Bagin pelvis berada pada pertengahan meja pemeriksaan.
d)     kedua kaki posisi litotomi.

Arah sinar (CR)     : Vertikal tegak lurus kaset
Titik bidik (CP)      : 2 inci diatas symphisis pubis
Faktor eksposi        : kV    =  75        FFD = 100cm
mAS   = 30     Kaset = 24 X 30 cm
Exposi : Pada saat media kontras di masukkan 2,5 cc.

Hasil Radiograf


3.2.3.3 Proyeksi Oblique Kanan
Posisi pasien:
d)     Supine
e)      Tungkai kanan lurus, panggul bagian kiri diangkat kira-kira 45°, panggul kanan merapat ke meja pemeriksaan, kedua tangan diatas kepala, meja dalam keadaan trendenberg.
f)       MSP tubuh segaris dengan pertengahan IR atau mid-line meja pemeriksaan

Posisi objek
b)      Bagin pelvis berada pada pertengahan meja pemeriksaan.

Arah sinar (CR)     : Vertikal tegak lurus kaset
Titik bidik (CP)      : Pertengahan SIAS dan symphisis pubis bagian axilare line kanan
Faktor eksposi        : kV    =  75        FFD = 100cm
mAS   = 30     Kaset = 24 X 30 cm

Exposi : Pada saat media kontras di masukkan 5 cc.


Hasil Radiograf


3.2.3.4  Proyeksi Oblik Kiri
Posisi pasien:
d)     Supine
e)      Tungkai kiri lurus, panggul bagian kanan diangkat kira-kira 45°, panggul kiri merapat ke meja pemeriksaan, kedua tangan diatas kepala, meja dalam keadaan trendenberg.
f)       MSP tubuh segaris dengan pertengahan IR atau mid-line meja pemeriksaan

Posisi objek
b)      Bagin pelvis berada pada pertengahan meja pemeriksaan.

Arah sinar (CR)     : Vertikal tegak lurus kaset
Titik bidik (CP)      : Pertengahan SIAS dan symphisis pubis bagian axilare line kiri
Faktor eksposi        : kV      75      FFD = 100cm
mAS  = 30       Kaset = 24 X 30 cm

Hasil Radiograf

3.2.3.5  Post Evakuasi Proyeksi Anteroposterior.
Posisi pasien :
d)     Supine
e)      MSP tubuh segaris dengan pertengahan IR atau mid-line meja pemeriksaan
f)       Lengan diletakkan disamping tubuh dan agak jauh dari tubuh pasien
Posisi obyek              :          
d)     Sentrasi 2 inci diatas symphisis pubis
e)      Tidak ada rotasi pada pelvis
f)       Kedua SIAS berjarak sama terhadap permukaan meja pemeriksaan
Arah sinar (CR)     : Vertikal tegak lurus kaset
Titik bidik (CP)      : 2 inci diatas symphisis pubis
                                
Faktor eksposi        : kV    =  75        FFD = 100cm
                                 mAS   = 30     Kaset = 24 X 30 cm

Hasil Radiograf


3.3            Pembahasan Masalah
Teknik pemeriksaan Histerosalpingografi merupakan pemeriksaan yang cukup sering dilakukan di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Kristen Ngesti Waluyo. Pada teknik pemeriksaan Histerosalpingografi dengan kasus infertilitas sekunder  di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Emanuel Klampok menggunakan foli kateter dan 4 proyeksi, yang meliputi Anteroposterior Supine, Right Posterior Oblique (RPO), Left Posterior Oblique (LPO), dan Post Miksi. Berdasarkan teori yang penulis dapatkan, pemeriksaan Histerosalpingografi dalam kasus infertilitas sekunder menggunakam 5 proyeksi, yaitu Proyeksi AP Supine polos, AP Supine (setelah masuk kontras) , Right Posterior Oblique (RPO), Left Posterior Oblique (LPO), dan Post Miksi.
Teknik pemeriksaan histerosalpingografi di RSK Ngesti Waluyo tidak menggunakan foto polos dikarenakan menurut Dokter Kandungan RSK Ngesti Waluyo plain foto tidak banyak memberi manfaat dalam diagnosis. Dokter kandungan lebih menyarankan USG untuk melihat diagnosa yang akurat. Sehingga pasien yang melakukan pemeriksaan HSG sudah melakukan pemeriksaan dengan USG terlebih dahulu. Pemeriksaan histerosalpingografi lebih dilakukan untuk melihat patensi tuba. Untuk melihat patologi seperti kalsifikasi, feeling difect, dan kelainan-kelainan yang lain pasien lebih percaya dengan USG.
Dengan pertimbangan inilah, maka dokter hanya menggunakan 4 proyeksi yaitu AP Supine, RPO, LPO, dan PM. Selain informasi yang didapat dari keempat proyeksi tersebut dirasa cukup, juga untuk mengurangi beban biaya pasien, karena hanya menggunakan 2 film saja. Pemberian foto polos diberlakukan apabila pasien bukan rujukan dari Dokter Kandungan RSK Ngesti Waluyo.
Penggunaan kateter pada pemeriksaan HSG di RSK Ngesti Waluyo sudah dilakukan sejak dulu oleh radiolog, sehingga menjadi kebiasaan yang dilakukan dokter radiolog yang baru. Kelebihan penggunaan kateter dari sudut pandang pasien adalah pasien merasa nyaman dan tidak sakit karena alat yang dimasukkan ke organ vagina bersifat lentur, sedangkan dari sudut pandang dokter adalah mereka tidak terkena radiasi seperti menggunakan injektor. Kekurangan penggunaan kateter pada pemeriksaan histerosalpingografi adalah aliran kontras agak lambat dan terkadang pada pasien yang tegang kateter susah terlepas karena balon kateter terjepit di cavum uteri.




BAB IV
PENUTUP

4.1  Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan maka penulis dapat menarik beberapa simpulan bahwa:
1)      Proyeksi yang digunakan pada pemeriksaan abdomen pada kasus peritonitis di Instalasi Radiologi RS. Emanuel Klampok  adalah AP Supine, Right Posterior Oblique (RPO), Left Posterior Oblique (LPO), dan Post Miksi.
2)      Plain foto tidak dilakukan karena informasi radiograf yang didapat tidak banyak dan sebelumnya sudah melakukan pemriksaan USG .
3)      Penggunaan kateter pada pemeriksaan histerosalpingografi merupakan kebiasaan yang dilakukan dokter radiolog.
4)      Kelebihan penggunaan kateter yaitu pasien tidak merasa sakit dan dokter tidak terkena radiasi.
5)      Kekurangan penggunaan kateter yaitu kurangnya dorongan aliran kontras.

4.2  Saran
1)      Untuk pemeriksaan histerosalpingografi sebaiknya pada pemasangan kateter dengan spluit menggunakan







DAFTAR PUSTAKA
Ballinger, P. W., 2000, Merril’s Atlas of Radiographic Position and Radiologic Procedures, Eigth Edition, Volume Two, C. V. Mosby Company, St. Louis.

Corwin, E. J., 2000, Buku Saku Patofisiologi, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.

Evelyn, C. P.,1989, Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis, PT. Gramedia, Jakarta.


Tumedia, J, Adnan, M, Pictor Lucas, 1979, Beberapa Kelainan Histerosalpingografi pada Wanita Infertil, Yogyakarta, Indonesia.


Yoder, Isabel C., 198, Hysterosalphingography and Pelvic Ultra Sound Imaging in Infertility and Gynecology, Little Brown and Company, Boston Massachucheeseth, USA.

Comments

Popular Posts