PKL 1 (TEKNIK PEMERIKSAAN ABDOMEN 2 POSISI PADA KASUS PERITONITIS )
Laporan Kasus 1
TEKNIK PEMERIKSAAN ABDOMEN 2 POSISI PADA KASUS
PERITONITIS DI INSTALASI RADIOLOGI
RUMAH SAKIT EMANUEL KLAMPOK
1.1 Latar Belakang
Dunia
kedokteran saat ini sangat maju dengan pesat terutama dengan pekembangan dan
aplikasi komputer bidang kedokteran sehingga ilmu radiologi turut berkembang
pesat mulai dari pencitraan organ sampai ke pencitraan selular atau molekular.
Di Indonesia perkembangan kedokteran terutama dalam bidang radiologi masih
banyak dilakukan serta perlu dukungan pemerintah. Pemeriksaan radiografi polos
dalam kasus kedaruratan di negara maju perannya sudah semakin sempit dan
diganti dengan teknologi CT scan serta perangkat digital lainnya
termasuk USG dan MRI meskipun demikian, alat tersebut masih tetap dipakai
karena murah, mudah dan cepat untuk kasus tertentu.
Sekarang
ini banyak orang yang mengalami gangguan pencernaan, teruma dibagian perut. Hal
ini bisa terjadi karena pola makan yang tidak teratur dan juga pikiran beban
maslah kehidupan. Penyakit ini biasanya diderita oleh orang yang sibuk bekerja,
dimana karena kesibukan mereka melupakan jam makan dan saat sudah telat makan
mereka memakan makanan cepat saji yang kontan saja melukai organ pencernaan
mereka. Kebiasaan itu mengakibatkan efek buruk pada organ pencernaan, sehingga
lambat laun menimbulkan sakit yang luar biasa pada bagian perut.
Sakit
yang luar biasa pada bagian perut sampai membuat sipenderita tidak berdaya,
memerlukan tindakan pengobatan yang segera. Untuk mendapatkan pengobatan yang
tepat diperlukan diagnosa yang tepat, bisa dihasilkan dengan menggunakan alat
radiologi dari konvesional hingga modern
seperti CT Scan yang sesungguhnya membutuhkan biaya besar. Sehingga bagi
orang-orang yang tidak mampu tidak dapat menggunakan CT Scan dan pilihan
terakhir adalah pesawat sinar-x konvensional.
Walaupun
demikian pada prinsipnya pemeriksaan radiologi memiliki tujuan yang sama yaitu
memberikan informasi yang sejelas-jelasnya sehingga dapat membantu menegakkan
diagnosa suatu penyakit. Seperti pada pemeriksaan abdomen akut di RS Emanuel
yang pada umumnya menggunakan teknik foto polos abdomen 2 posisi. Padhal dalam
teori foto polos abdomen akut seharusnya meggunakan 3 posisi.
Untuk
itulah penulis tertarik untuk mengambil kasus ini dan akan membahasnya dalam
judul “Teknik Pemeriksaan Abdomen Akut pada Kasus Peritonitis di Instalasi
Radiologi Rumah Sakit Emanuel Klampok”.
1.2 Rumusan Masalah
Berikut adalah rumusan-rumusan
masalah yang akan dibahas dalam laporan kasus ini:
a)
Bagaimana teknik pemeriksaan abdomen akut dengan kasus
peritonitis di
Instalasi Radiologi Rumah Sakit Emanuel Klampok?
b) Mengapa teknik pemeriksaan
abdomen akut menggunakan 2 proyeksi (2 posisi) yaitu Antero Superior Supine, Left Lateral
Decubitus (LLD)?
c) Perlukah proyeksi Antero Superior
setengah duduk
pada kasus peritonitis
abdomen?
d) Kekurangan dari
teknik pemeriksaan abdomen 2 posisi?
1.3 Tujuan
Penulisan
Tujuan penulisan laporan
kasus ini adalah sebagai berikut:
1.
Tujuan
Umum
a.
Untuk
memenuhi syarat kelulusan Mata Kuliah Praktek Kerja Lapangan I
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui teknik pemeriksaan pada kasus
abdomen akut.
b. Untuk mengetahui latar belakang di buatnya
pemeriksaan Abdomen 2 posisi.
c. Mahasiswa dapat menentukan faktor exposi yang akan
digunakan untuk pemeriksaan.
d. Mahasiswa dapat mengetahui alat-alat yang
dibutuhkan dalam melakukan pemeriksaan.
1.4 Manfaat
Penulisan
1. Menambah pengalaman dan pengetahuan penulis dalam
melakukan pemeriksaan terhadap pasien dengan indikasi abdomen akut.
2. Sebagai bahan informasi dan referensi bagi mahasiswa
khususnya mahasiswa Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi Politeknik Kesehatan
Kementrian Kesehatan Semarang.
3. Memberikan informasi dan gambaran yang jelas tentang
pemeriksaan Abdomen.
1.5 Sistematika
Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan penulisan laporan
kasus ini, maka sistematika penilaiannya terdiri atas:
BAB I PENDAHULUAN
Yang
meliputi : Latar Belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan
dan sistematika penulisan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Yang
meliputi : Anatomi dan fisiologi abdomen, patologi peritonitis, peralatan dan
proyeksi yang digunakan.
BAB III HASIL DAN PEMBAHSAN
Terdiri
dari kasus dan pembahasan.
BAB IV PENUTUP
Berisikan simpulan
dan saran
DAFTAR PUSTAKA
Lampiran
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Abdomen
Abdomen adalah rongga
terbesar dalam tubuh. Bentuknya lonjong dan meluas dari atas dari diafragma
sampai pelvis di bawah. Rongga abdomen dilukiskan menjadi dua bagian, abdomen
yang sebenarnya yaitu rongga sebelah atas dan yang lebih besar dari pelvis
yaitu rongga sebelah bawah dan lebih kecil. Batas-batas rongga abdomen adalah
di bagian atas diafragma, di bagian bawah pintu masuk panggul dari panggul
besar, di depan dan di kedua sisi otot-otot abdominal, tulang-tulang illiaka
dan iga-iga sebelah bawah, di bagian belakang tulang punggung dan otot psoas
dan quadratus lumborum. Bagian dari rongga abdomen dan pelvis beserta
daerah-daerah (Pearce, 1999).
1)
FPA / BNO / KUB / Plain
Abdomen
Pemeriksaan abdomen
ini dilakukan dengan persiapan khusus. Persiapannya yaitu pasien sebelumnya
puasa berapa jam sesuai instruksi dari dokter, makan makanan yang halus seperti
bubur kecap (agar proses pengosongan feses cepat). Foto ini umumnya digunakan
untuk pemeriksaan awal sebelum pemasukan media kontras. Hal ini bertujuan untuk
melihat persiapan pasien, melihat kesesuaian faktor eksposi dan untuk melihat
kondisi secara umum dari organ-organ dari kavum abdomen.
2)
Abdomen Akut
Pemeriksaan ini tanpa
dilakukan dengan persiapan khusus. Jadi, pasien datang ke rumah sakit langsung
difoto. Kondisi dari pasien ini bisa diakibatkan adanya obstruksi, perforasi,
udara bebas pada intraperitoneal atau massa pada abdomen. Kondisi akut ini sering
disebut acute abdominal serie atau two way(AP supine dan LLD) atau three way abdomen serie(AP supine, LLD dan
AP setengah duduk) (Bontrager, 2001).
2.1.1 Otot Penyusun Abdomen (Bontrager, 2001).
Abdomen disusun oleh banyak otot. Tiga otot
yang sangat penting:
a)
Diafragma
§
Merupakan
otot yang berbentuk seperti payung yang memisahkan rongga dada dengan rogga
perut
b)
Psoas
mayor kanan dan kiri
§ Kedua otot ini terletak di
sebelah kolumna vertebra lumbalis
2.1.2 Sistem Organ Abdomen
Isi dari rongga abdomen adalah sebagian
besar dari saluran pencernaan, yaitu lambung, usus halus dan usus besar
(Pearce, 1999).
Sistem organ pada abdomen terdiri
dari tractus digestivus, tractus urinarius dan organ aksesoris digestivus.
·
TRACTUS DIGESTIVUS
Tractus digestivus berisi system pencernaan dan organ
aksesoris degestivus yang
dikontribusikan untuk proses pencernaan. Cavum abdominal pelvic digariskan oleh
double-wall, seromembranosa yang dinamakan peritoneum. Bagian terluar yang dinamakan
parietal dekat dengan dinding pelvis dan dibawah diafragma. Sedangkan bagian
luar bernama visceral. (Merril, 1975)
Organ dari system digestivus terdiri dari:
a)
Mulut
b)
Faring
c)
Oesophagus
d)
Gaster
e)
Intestinum Tenue
f)
Intestinum Crassum
Mulut
Mulut adalah rongga lonjong pada permulaan saluran pencernaan.
Bagian luar yang sempit (vestibula) yaitu ruang diantara gusi serta gigi dengan
bibir dan pipi, dan bagian dalam yaitu rongga mulut yang dibatasi oleh tulang
maksila dan semua gigi. (Pearce, 2002)
Faring
Terletak di belekang hidung, mulut dan laring. Berupa
saluran berbentuk kerucut dari muskulo membranosa. Faring terdiri dari
nasofaring, orofaring dan laringofaring. (Pearce, 2002)
Esofagus
Terletak di mediastinum pada cavum thorax. (Bontrager,
2001)
Gaster
Gaster mempunyai dua permukaan anterior dan posterior
dan dua sisi yang dinamakan kurvatura. Gaster dibagi kardiak dan pyloric yang
melewati insisura angularis dari kurvatura minor dan dilatasi kurvatura mayor.
(Merril, 1975)
Intestinum Tenue
Merupakan tabung yang kira-kira dua setengah meter.
Intestinum tenue ini terdiri dari duodenum, jejunum dan ileum. (Pearce, 2002)
Intestinum
Crassum
Intestinum crassum ini terdiri dari katup ileosekal,
appendik vermiformis, colon ascenden, fleksura coli dextra, colon
transversarium, fleksura coli sinestra, colon descenden, sigmoid, rectum dan
anal canal.
·
TRACTUS URINARIUS
Sistem urinari terdiri dari:
a)
Ginjal, yang mengeluarkan
secret urine
b)
Ureter, yang menyalurkan
urine dari ginjal ke vesica urinaria
c)
Vesica Urinaria, yang bekerja sebagai penampung
d)
Uretra, yang mengeluarkan
urine dari vesica urinaria
Ginjal
Terletak di
dinding posterior abdomen, terutama di daerah lumbal, disebelah kanan dan kiri
tulang belakang. Dibungkus lapisan lemak yang tebal, dibelakang peritoneum, dan
karena itu diluar rongga peritoneum. Kedudukannya kira-kira pada ketinggian
vertebrae torakalis terakhir sampai lumbal ketiga. Fungsi ginjal terdiri dari
filtrasi glomerulus, reabsorbsi tubula dan sekresi tubula.
Ureter
Kira-kira
setebal bulu angsa yang panjangnya 35-40 cm.
Vesica Urinaria
Dindingnya
terdiri atas lapisan serus sebelah luar, lapisan berotot, lapisan submukosa,
lapisan mukosa dari epithelium transisional.
Uretra
Terdiri atas
serabut otot lingkar yang membentuk sfingter uretra. Panjang uretra perempuan
2,5-3,5 cm sedangkan pria 17-22,5 cm. (Pearce, 2002)
·
ORGAN
AKSESORIS DIGESTIVUS
Hepar
Kelenjar
terbesar dalam tubuh, yang terletak dibagian teratas dalam rongga abdomen
sebelah kanan dibawah daifragma. Secara luas dilindungi iga-iga.
Vesica Vellea
Seuah kantong berbentuk
terong dan ,merupakan membrane berotot. Letaknya di dalam sebuah lekukan di
sebelah bawah permukaan bawah hati, sampai di pinggiran depan.
Pancreas
Kelenjar
majemuk bertandan, strukturnya sangat mirip dengan kelenjar ludah. Panjangnya
lima 15 cm, mulai dari duodenum sampai limpa. Bagian dari pancreas adalah
caput, corpus, colum dan cauda. (Pearce, 2002)
2.1.3 Cavum Abdomen (Bontrager, 2001).
Ada 4 ketentuan penting yang menjelaskan anatomi cavum abdomen :
1. Peritoneum
Merupakan lapisan serosa ganda yang membungkus
struktur, organ dan dinding dalam abdomen. Terdapat dua jenis peritoneum,
yaitu peritoneum parietalis dan visceralis. Peritoneum paritealis merupakan
lapisan ganda peritoneum yang melapisi dinding dalam abdomen. Sedangkan,
peritoneum visceralis merupakan peritoneum yang membungkus organ-organ pada
abdomen.
2. Mesenterium
Merupakan lapisan ganda peritoneum, yang
berbentuk seperti kipas dan menghubungkan usus halus ke dinding posterior abdomen. Pada mesenterium ini terdapat banyak
pembuluh darah, pembuluh limfe dan saraf.
3. Omentum
Jenis khusus lapisan ganda peritoneum yang
menggantumg dari lambung menuju organ lainnya disebut omentum. Terdapat dua macam omentum, yaitu omentum mayus dan minus. Omentum mayus
menghubungkan kuvatura mayor lambung
dengan kolon transversum. Sedangkan omentum minus berada di atas
kurvatura minor dan memanjang
sampai ke hati.
4. Mesocolon
Merupakan lapisan peritoneum yang
mengikat kolon ke dinding posterior
abdomen. Terdapat empat jenis mesocolon, yaitu ascendens, transversum,
descendense, dan sigmoid (pelvis).
2.1.4 Batas Cavum Abdomen
a)
Cranial : diaphragma
b)
Caudal : diphragma pelvis
c)
Anterior : m. rectus
anatomi, m. pyramidalis, bagian anterior dr aponeurosis m. Obliqus abdominis
eksternus, m. obliquus abdominis internus, dan m. transverses abdominis.
d)
Posterior : corpus dan
discus intervertebralis Vertebrae Lumbal I-V, crus diaphragm, m. psoas major,
m. psoas minor, m. iliacus, m. quadratus lumborum, ala ossis ilii.
e)
Lateral : m. obliquus
abdominis eksternus, m. obliquus abdominis internus, m. transverses abdominis,
m. iliacus, os. coxae
2.1.5 Kuadran Pada Abdomen
Abdomen dibagi menjadi 4 kuadran. Perpotongan tersebut terpusat melalui
umbilicalis.
Kuadran-kuadran yng terbentuk meliputi:
a)
RUQ
(Right upper Quadrant)
b)
LUQ
(Left Upper Quadrant)
c)
RLQ
(Right Lower Quadrant)
d) LLQ (Left Lower
Quadrant)
2.2 Patologi
1. Trauma
1. Trauma
Trauma adalah cedera fisik dan psikis,
kekerasan yang mengakibatkan cedera (Sjamsuhidayat, 1997). Trauma
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu trauma dinding abdomen dan trauma pada
organ cavum abdomen.
Ø
Trauma pada dinding abdomen
terdiri kontusio dan laserasi.
a)
Kontusio dinding abdomen
tidak terdapat cedera intra abdomen, kemungkinan terjadi ekimosis atau
penimbunan darah dalam jaringan lunak dan masa darah dapat menyerupai tumor.
b)
Laserasi, jika terdapat luka
pada dinding abdomen yang menembus rongga abdomen harus dieksplorasi
(Sjamsuhidayat, 1997). Atau terjadi karena trauma penetrasi.
Ø
Trauma abdomen pada isi
abdomen, menurut Sjamsuhidayat (1997) terdiri dari:
a)
Perforasi organ visceral
intraperitonium. Cedera pada isi abdomen mungkin disertai oleh bukti adanya
cedera pada dinding abdomen.
b)
Luka tusuk (trauma
penetrasi)
c)
Cedera thorax abdomen
2. Peritonitis
2. Peritonitis
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum (
lapisan membrane serosa rongga abdomen dan meliputi visera) merupakan penyakit
berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis / kumpulan
tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi,
defans muscular, dan tanda-tanda umum inflamasi.
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh
bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses)
terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan
permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang
bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang
kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.Peradangan menimbulkan akumulasi cairan
karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi
secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan
berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon
hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan
banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi
cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi
awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi
hipovolemia. Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler
organ-organ tersebut meninggi.
Pengumpulan cairan didalam rongga
peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan
oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan
hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang
tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus,
lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh
menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas
pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis
umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang
sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan
dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung
usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan
mengakibatkan obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi
usus dapat menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka
terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan.
Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai
terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus
stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi
iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi
perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat
terjadi peritonitis.
Peritonitis sering disebabkan oleh infeksi bakteri
yaitu:
- Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
- Appendisitis yang meradang dan perforasi
- Tukak peptik (lambung/dudenum)
- Tukak thypoid
- Tukan disentri amuba/colitis
- Tukak pada tumor
- Salpingitis
- Divertikulitis
Kuman yang paling sering ialah bakteri
Coli, streptokokus alpha dan beta hemolitik, stapilokokus aurens, enterokokus
dan yang paling berbahaya adalah clostridium wechii.
- Secara langsung dari luar.
- Operasi yang tidak steril
Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium,
sulfonamida, terjadi peritonitisyang disertai pembentukan jaringan
granulomatosa sebagai respon terhadap benda asing, disebut juga peritonitis
granulomatosa serta merupakan peritonitis lokal.
Trauma pada kecelakaan seperti rupturs
limpa, ruptur hati
Melalui tuba fallopius seperti cacing
enterobius vermikularis. Terbentuk pula peritonitis granulomatosa.
Secara hematogen sebagai komplikasi
beberapa penyakit akut seperti radang saluran pernapasan bagian atas, otitis
media, mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab utama adalah streptokokus atau
pnemokokus.
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
Peritonitis bakterial primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi
bakterial secara hematogen pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi
dalam abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli,
Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua,
yaitu:
a) Spesifik: misalnya
Tuberculosis
b) Non spesifik: misalnya
pneumonia non tuberculosis dan Tonsilitis.
Faktor resiko yang berperan pada
peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intraabdomen, imunosupresi
dan splenektomi.
Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan
sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis
hepatis dengan asites.
Peritonitis bakterial akut sekunder
(supurativa)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi
akut atau perforasi tractusi gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada
umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal.
Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini.
Bakteri anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh
bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi.
Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu
bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis. Kuman dapat berasal dari:
Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman
dari luar masuk ke dalam cavum peritoneal.
Perforasi organ-organ dalam perut,
contohnya peritonitis yang disebabkan oleh bahan kimia, perforasi usus sehingga
feces keluar dari usus.
Komplikasi dari proses inflamasi
organ-organ intra abdominal, misalnya appendisitis.
Peritonitis tersier
Peritonitis tersier, misalnya:
Peritonitis yang disebabkan oleh jamur.
Peritonitis yang sumber kumannya tidak
dapat ditemukan.
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine.
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine.
Peritonitis Bentuk lain dari peritonitis:
Aseptik/steril peritonitis.
Granulomatous peritonitis.
Hiperlipidemik peritonitis.
Talkum peritonitis.
3. Obstruksi Usus
Penyumbatan usus yang terjadi karena adanya
daya mekanik dan mempengaruhi dinding usus sehingga mengakibatkan penyempitan
atau penyumbatan lumen usus.
4. Preumo Peritoneum
Merupakan adanya udara di dalam rongga
peritoneum, (Bontrager, 2001)
5. Editis Ulseratif
Merupakan penyakit dimana daerah yang luas
dari usus besar meradang dan mengalami ulserasi. (Bontrager, 2001)
6. Volvulus
Disebut juga torsi merupakan pemutaran usus
dengan mesenterium sehingga poros. (Bontrager, 2001)
7. Tumor / neoplasma
Kumpulan sel abnormal yang terbentuk oleh
sel-sel yang tumbuh terus menerus secara tidak terbatas, tidak terkoordinasi
dengan jaringan sekitarnya dan tidak berguna bagi tubuh
8. Ulkus atau tukak
Terjadi apabila sebagian permukaan tulang
jaringan hilang sedang sekitarnya meradang. Bisa terjadi di kulit atau alat
dalam seperti lambung dan usus
2.3 Teknik
Pemeriksaan Abdomen Akut
2.3.1 Persiapan Pemeriksaan Pasien
2.3.1.1 Persiapan Pasien
Pada pemeriksaan foto abdomen akut ini, tidak ada persiapan khusus
seperti persiapan untuk menjalani pemeriksaan kontras. Jadi, pasien datang ke
ruang radiologi langsung difoto. Selanjutnya, pasien harus menaggalkan
aksesoris seperti ikat pinggang ataupun logam-logam (uang koin) lain di saku
celana yang bisa mengganggu radiograf.
Teknik eksposi :
Ø Pemeriksaan tanpa media
kontras, hal ini sangat diperlukan untuk memperoleh perbedaan gambaran soft
tissue yang maksimal dalam keseluruhan perbedaan tiap bagian abdomen .
Dikarenakan cakupan ketebalan pada abdomen
dan perbedaan yang jelas terhadap densitas fisik antara tiap isi visera
.ini dibutuhkan untuk penggunaan teknik eksposi yang lebih, untuk
mempertunjukan perbedaan suatu organ dengan organ lain di dekatnya .
Proteksi Radiasi :
a) Gunakan
gonad shield bila tidak menutup obyek yang dilihat
b) Tutup
gonad pada pasien bereproduksi aktif
c) Tidak
pakai gonad apabila dilihat tidak memungkinkan untuk ditutup
2.3.1.2
Persiapan Alat dan Bahan
a)
Pesawat sinar-X
b)
Kaset ukuran 35x 43
c)
Marker R/L
d)
Solatip
e)
Moving atau stationary grid
f)
Control table
g)
Manual processing, otomatic
processing atau CR
2.3.2 Proyeksi Pemeriksaan
2.3.2.1 Proyeksi Anteroposterior (AP) Supine
Patologi : obstruksi
organ-organ dalam perut,
neoplasma, kalsifikasi dan ascites
Posisi pasien :
a) Supine
b) MSP
tubuh segaris dengan pertengahan IR atau mid-line meja pemeriksaan
c) Lengan
diletakkan disamping tubuh dan agak jauh dari tubuh pasien
d) Kedua
bahu simetris
e) Kaki
diekstensikan, beri pengganjal pada knee untuk kenyamanan pasien
Posisi obyek :
a)
Pertengahan
kaset berada setinggi krista iliaka, dengan batas bawah kaset pada simpisis
pubis, dan batas atas kaset pada diafragma atau xipoideus
b)
Tidak
ada rotasi pada pelvis
c)
Kedua
SIAS berjarak sama terhadap permukaan meja pemeriksaan
Arah sinar (CR) : Vertikal tegak lurus kaset
Titik bidik (CP) : pertengahan kaset (setinggi krista iliaka)
Respirasi :
Ekspose pada saat akhir ekspirasi
Faktor eksposi : kV =
80 FFD = 100 cm
mAS = 22 Kaset
= 35 X 43 cm
Kriteria Radiograf: (Ballinger, 2003)
a)
Tampak
daerah abdomen sampai batas simpisis pubis
b)
Tampak
garis luar hati, limpa, ginjal dan lambung yang dipenuhi udara
c)
Menunjukan
gambaran soft-tissue
d)
Tidak
ada rotasi pada pasien, prosesus spinosus tampak ditengah dari vertebrae
lumbal, kedua spina ischiadica pada pelvis tampak simetris dan kedua ala ilium
tampak simetris
e)
Kedua SIAS dan os.
Illiac simetris
2.3.2.2 Proyeksi Left Lateral Decubitus
Patologi : tumor, air
fluid level, akumulasi udara
intraperitoneal
Posisi pasien :
a) Pasien tidur miring pada meja
pemeriksaan
b) Knee agak difleksikan
c) Lengan difleksikan dan
diletakkan di depan kepala
d) Tidak ada rotasi pada bahu
Posisi obyek :
a) Pertengahan kaset berada ± 2
inchi (5 cm di atas krista iliaka). Proksimal margin dari kaset kira-kira
berada setinggi aksila
b) Tidak ada rotasi pada pelvis
dan shoulder
Arah sinar (CR) : horizontal, tegak lurus pada pertengahan kaset
Titik bidik
(CP) : setinggi 2 inches (5 cm) di atas krista iliaka
Respirasi :
Ekspose pada saat akhir ekspirasi. Sebelum eksposi dianjurkan tidur miring
selama 5 menit, 10-20 menit lebih direkomendasikan
Faktor eksposi : kV =
80 FFD = 100 cm
mAS =
30 Kaset = 35 X 43 cm
a) Tampak air-filled stomach dan
loops of bowel
b) Tampak air-fluid level
c) Tampak diafragma bilateral dan
sebagian besar abdomen bawah.
2.3.2.3 Proyeksi Anterosuperior Setengah Duduk
Kriteria
Radiograf: (Bontrager, 2001)
mAS =
22 Kaset = 35 X 43 cm
3.1 Hasil Penelitian
3.3 Pembahasan Masalah
4.1 Simpulan
4.2 Saran
Patologi :
tumor, air fluid level dan udara
intraperitoneal di bawah
diafragma.
Posisi pasien :
a) Erect
b) Berat badan tertumpu pada kedua
kaki
c) Punggung menempel pada
permukaan kaset
d) Lengan berada di samping tubuh
e) MSP berada pada pertengahan
kaset
Posisi obyek :
a) Pertengahan kaset berada ± 2
inchi (5 cm di atas krista iliaka). Untuk kebanyakan pasien bagian atas
kaset akan berada setinggi aksila
b) Tidak ada rotasi pada pelvis
dan shoulder
Arah sinar (CR) : vertikal tegak lurus pada pertengahan kaset
Titik bidik (CP) : setinggi 2 inches (5 cm) di atas krista
iliaka
Respirasi : Ekspose pada saat akhir
ekspirasi. Sebelum
eksposi dianjurkan duduk selama 5
menit, 10-20 menit lebih direkomendasikan
Faktor eksposi : kV =
80 FFD = 100 cm
mAS =
30 Kaset = 35 X 43 cm
a) Tampak gambaran abdomen yang
terisi udara
b) Tampak air-fluid level
c) Tampak diafragma bilateral dan
sebagian besar abdomen bawah
2.3.2.4 Proyeksi Posteroanterior Prone
Patologi : obstruksi,
neoplasma, kalsifikasi, ascites
Posisi pasien :
a)
Prone
b)
MSP tubuh segaris dengan pertegahan kaset atau
mid-line meja pemeriksaan
c)
Kaki diekstensikan, berikan pengganjal di
bawah ankle
d)
Lengan berada di samping kepala
e)
Tidak ada rotasi pada shoulder
Posisi obyek :
a)
Pertengahan kaset berada setinggi krista
iliaka, dengan batas bawah kaset pada simpisis pubis, dan batas atas kaset pada
diafragma atau xipoideus
b)
Tidak ada rotasi pada pelvis
Arah sinar (CR) : vertikal tegak lurus pada pertengahan kaset
Titik bidik (CP) : setinggi krista iliaka
Respirasi : Ekspose pada saat akhir
ekspirasi.
Faktor eksposi : kV =
80 FFD = 100 cm
Kriteria
Radiograf: (Bontrager, 2001)
a)
Tampak daerah abdomen sampai batas simpisis
pubis
b)
Tampak garis luar hati, limpa, ginjal dan
lambung yang dipenuhi udara
c)
Menunjukan gambaran soft-tissue
d)
Kedua SIAS dan os. Illiac simetris
2.3.2.5 Proyeksi Dorsal Decubitus
Patologi : massa abnormal
pada abdomen, air fluid
level,
aneurisma, kalsifikasi aorta, umbilical hernia
Posisi pasien :
a)
Pasien supine pada radiolucent pad
b)
Gunakan bantal sebagai pengganjal kepala
c)
Knee agak difleksikan
d)
Lengan
diletakkan di atas kepala
e)
Tidak ada rotasi pada bahu
Posisi obyek :
a)
Pasien supine pada radiolucent pad
b)
Gunakan bantal sebagai pengganjal kepala
c)
Knee agak difleksikan
d)
Lengan
diletakkan di atas kepala
e)
Tidak ada rotasi pada bahu
Arah sinar (CR) : vertikal tegak lurus pada pertengahan kaset
Titik bidik (CP) : 2 inchi diatas krista iliaka
Respirasi : Ekspose pada saat akhir
ekspirasi.
Faktor eksposi : kV =
80 FFD = 100 cm
mAS =
30 Kaset = 35 X 43 cm
Kriteria
Radiograf: (Bontrager, 2001)
a)
Tampak diafragma dan sebagian besar abdomen
bagian bawah
b)
Airr-filled loops dari bowel pada abdomen dengan detail soft tissue
tampak jelas pada prevertebral dan region anterior abdomen
2.3.2.6 Proyeksi Lateral
Patologi : aneurisma,
kalsifikasi
Posisi pasien :
a)
Pasien dalam posisi lateral recumben kanan
atau kiri
b)
Gunakan bantal sebagai penahan kepala
c)
Elbow difleksikan lengan diangkat, knee dan
hips sebagian difleksikan juga
d)
Letakkan bantal diantara knee dan hips sebagai
alat fiksasi
Posisi obyek :
a) Midcoronal plane sejajar dengan
pertengahan meja pemeriksaan
b) Usahakan pelvis dan thorax
tidak ada rotasi sehingga berada dalam posisi true lateral
Arah sinar (CR) : vertikal tegak lurus pada pertengahan kaset
Titik bidik (CP) : 2 inchi diatas krista iliaka
Respirasi : Ekspose pada saat akhir
ekspirasi.
Faktor eksposi : kV =
80 FFD = 100 cm
mAS =
60 Kaset = 35 X 43 cm
Kriteria
Radiograf: (Bontrager, 2001)
a)
Tampak diafragma dan sebagian besar abdomen
bagian bawah
b)
Airr-filled loops dari bowel pada abdomen dengan detail soft tissue
tampak jelas pada prevertebral dan region anterior abdomen
BAB III
PROFIL KASUS DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil Penelitian
Identitas
Pasien
Nama : Sdr. A
Umur : 29 th
Jenis kelamin : Pria
Alamat : Kl. Anyar,
Jakarta
No. RM : 389554
No. Foto : 7254
Tanggal foto : 03-10-2013
Klinis Pasien : Peritonitis
Pemeriksaan : Abdomen 2 posisi
(AP Supine dan LLD (Left Lateral Decubitus))
3.2 Prosedur
Pemeriksaan
3.2.1
Persiapan Alat
a. Pesawat sinar X
Nama/Merk :Hitachi
No. Seri Tabung: M-5CE-30
Kv Maksimum:130 Kv
Ma Maksimum: 90 Ma
Jenis Tabung: Single
b. Kaset dan film berukuran
30 x 40
c. Alat ID film
d. Automatic Processing
3.2.2 Persiapan
Pasien
Pada
pemeriksaan foto abdomen 2 posisi ini, tidak ada persiapan khusus seperti persiapan untuk
menjalani pemeriksaan kontras. Hal tersebut diakibatkan karena pasien dari
Instalasi Gawat Darurat dengan permintaan foto abdomen 2 posisi (abdomen akut).
Jadi, pasien datang ke ruang radiologi langsung difoto. Selanjutnya, pasien
harus menanggalkan
aksesoris seperti ikat pinggang dan dompet di saku celana yang bisa mengganggu radiograf.
3.2.3 Teknik Pemeriksaan
AP Supine
Posisi pasien :
a)
Supine
b)
MSP
tubuh segaris dengan pertengahan IR
c)
Lengan
diletakkan disamping tubuh dan agak jauh dari tubuh pasien
d)
Kedua
bahu simetris
Posisi obyek :
a)
Pertengahan
kaset berada setinggi krista iliaka, dengan batas bawah kaset pada simpisis
pubis, dan batas atas kaset pada diafragma atau xipoideus
b)
Tidak
ada rotasi pada pelvis
c)
Kedua
SIAS berjarak sama terhadap permukaan meja pemeriksaan
Arah sinar (CR) : vertikal tegak lurus kaset
Titik bidik (CP) : pertengahan kaset (setinggi krista iliaka)
Respirasi :
ekspose pada saat akhir ekspirasi
Faktor eksposi : kV = 70 FFD = 100 cm
mAS =
16 Imaging Plate = 30 X 40 cm
Hasil Radiograf
LLD (Left Lateral Decubitus)
Posisi pasien :
a) Pasien tidur miring pada brankat
b) Knee agak difleksikan
c) Lengan difleksikan dan
diletakkan di depan kepala
d) Tidak ada rotasi pada bahu
Posisi obyek :
a) Pertengahan kaset berada ± 2
inchi (5 cm di atas krista iliaka). Proksimal margin dari kaset kira-kira
berada setinggi aksila
b) Tidak ada rotasi pada pelvis
dan shoulder
Arah sinar (CR) : horizontal,
tegak lurus pada pertengahan kaset
Titik bidik (CP) : setinggi 2 inchi (5 cm) di atas krista iliaka
Respirasi :
ekspose pada saat akhir ekspirasi
Faktor eksposi : kV = 80 FFD = 100 cm
mAS =
20 Imaging Plate = 30 X 40 cm
Hasil Radiograf
Hasil Pembacaan Radiograf
·
Pre peritoneal fat line dbn
·
Tak tampak pneumopertoneum
·
Tampak dilatasi usus
halus-besar dan gambaran multiple air-fluid level panjang
·
Gambaran paralitik, tak tampak
perforasi
3.3 Pembahasan Masalah
Teknik pemeriksaan Abdomen
merupakan pemeriksaan yang sering dilakukan di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Emanuel Klampok.
Pada teknik pemeriksaan
abdomen akut dengan kasus peritonitis di Instalasi
Radiologi Rumah Sakit Emanuel Klampok menggunakan 2 proyeksi, yang meliputi Anteroposterior Supine dan Left Lateral Decubitus. Seperti yang kita
tahu, pemeriksaan abdomen sebenarnya menggunakan 3 proyeksi, tetapi di Rumah
Sakit Emanuel hanya menggunakan 2 proyeksi, alasanya dilihat dari fungsi setiap
proyeksi seperti pada Proyeksi Anteroposterior Supine untuk melihat kemungkinan adanya trauma
dinding abdomen maupun organ dalam cavum abdomen, obstruksi organ-organ perut,
neoplasma, kalsifikasi dan ascites, Proyeksi Left Lateral Decubitus digunakan untuk melihat
kemungkinan adanya tumor pada abdomen, air fluid level, akumulasi udara intra
peritoneal (melihat udara normal yang ada di gaster dan udara bebas diatas
gaster pada posisi LLD), dan Proyeksi Anteroposterior Setengah Duduk digunakan untuk
melihat kemungkinan adanya tumor, air fluid level dan udara intraperitoneal di
bawah diafragma. Bisa kita lihat proyeksi LLD dan AP setengah duduk
memiliki fungsi yang sama yaitu menampakkan air flued level, sehingga dokter
hanya meminta 2 proyeksi saja.
Selanjutnya, untuk proyeksi
Posteroanterior Prone jarang
diaplikasikan di lapangan (rumah sakit), karena jika organ primer yang harus
divisualisasikan adalah ginjal, maka hasil radiograf tersebut tidak optimal
akibat adanya penambahan OID (menimbulkan magnifikasi). Sehingga informasi
diagnostiknya pun berkurang. Selain itu, proyeksi dorsal decubitus juga jarang
digunakan karena proyeksi ini digunakan jika keadaan pasien tidak memungkinkan
untuk recumbent, jadi kita bisa menggunakan proyeksi ini. Sedangkan proyeksi
lateral ini pun juga jarang dilakukan karena radiograf yang akan dihasilkan
kurang akurat untuk penegakan diagnosa.
Pada dasarnya, pada proyeksi LLD dan
AP erect ada baiknya berdiam di tempat selama
, lebih direkomendasikan berdiam diri selama
agar hasilnya lebih optimal. Hal
tersebut bertujuan jika LLD untuk melihat udara normal dalam gaster dan udara
bebas (abnormal) diatas gaster. Kemudian pada proyeksi AP setengah duduk
bertujuan untuk melihat udara abnormal dibawah diafragma. Pada proyeksi AP
setengah duduk ini, pasien juga harus benar-benar dalam posisi setengah duduk
agar radiograf yang dihasilkan lebih akurat dan menghasilkan informasi
diagnostik yang tinggi. Jadi, selain untuk melihat kelainan trauma dari
tulang-tulang disekitar cavum abdomen, hal yang lebih penting yakni untuk
melihat organ-organ dalam cavum abdomen seperti tractus urinarius, tractus
gastro intestinal dan organ aksesoris digestivus. Oleh sebab itu, diperlukan
berdiam sebentar selama
untuk melihat udara bebas jika
kemungkinan ada kelainan seperti perforasi (adanya tumor, lubang, tusukan dan
benturan).
Tetapi, kebetulan pasien tersebut
dari IGD, jadi kalau mungkin diinstruksikan untuk berdiam diri lebih lama akan
sangat riskan. Maka radiografernya mengambil jalan cepat Oleh sebab itu,
radiographer dituntut kecepatan dan kecekatannya dalam melaksanakan tugas. Maka
tidak bisa dipungkiri jika persiapan dari pasien tersebut kurang maksimal.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan maka penulis dapat menarik beberapa simpulan
bahwa:
1)
Proyeksi – priyeksi yang digunakan pada pemeriksaan
abdomen pada kasus peritonitis di Instalasi Radiologi RS. Emanuel Klampok adalah AP Supine dan LLD.
2)
Proyeksi AP semi supine tidak begitu penting karena bisa
diakali dengan proyeksi LLD.
4.2 Saran
1)
Luas lapangan kolimasi
kurang diperhatikan (lebih dari sebatas kaset atau lebih dari objek yang
dibutuhkan), sehingga tidak ada upaya untuk proteksi radiasi (radiasi
berlebihan).
2)
Untuk
pemeriksaan abdomen sebaiknya menggunakan kaset dan film ukuran 35 x 43 cm.
DAFTAR PUSTAKA
Ballinger, Philip W. and
Eugene D. Frank. Radiographic Positions
and
Radiologic
Procedures,
vol. two. USA : Mosby, 2003. h. 80.
Bontrager, Kenneth L. Textbook of Radiographic Positioning and
Related
Anatomy, 4th edition.
USA : Mosby, 2001. h. 98-112.
Comments
Post a Comment