TEKNIK PEMERIKSAAN CT-SCAN KEPALA PADA KASUS AFASIA DI INSTALASI RADIOLOGI RS PANTI RAPIH YOGYAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Teknik CT-Scan pertama kali ditemukan oleh Godfrey Hounfield
pada tahun 1968 dan di Indonesia digunakan sejak tahun 1970. CT-Scan merupakan
perpaduan antara teknologi sinar-x, computer dan televisi sehingga mampu
menampilkan gambar anatomis tubuh dalam manusia dalam bentuk irisan atau slice
( Rasad,1992 ). Prinsip kerja dari CT-Scan yaitu hanya dapat men-scanning tubuh dengan irisan melintang
tubuh (potongan axial). Namun dengan memanfaatkan teknologi computer maka
gambaran axial yang telah didapatkan dapat diformat kembali sehingga didapatkan
gambaran coronal, sagital, oblique, diagonal bahkan bentuk tiga dimensi dari
objek tersebut. (Tortorici, 1995)
Pada umumya ada banyak jenis
pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip Computed Tomography salah satunya adalah
teknik pemeriksaan CT-Scan Kepala. Scanogram kepala dibuat dengan posisi tabung – detektor berada di samping
kepala pasien yang berbaring terlentang. Kemudian di buatlah scan – scan
menurut program, barulah dalam hal ini pasien diam dan tabung detektor berputar
mengelilingi sambil memotret ( Rasad, 1992 )
Pemeriksaan CT Scan Kepala dapat membantu
menegakkan diagnosa atas berbagai kelainan salah satunya Afasia akibat
CVA/stroke, dengan dilakukan CT Scan kepala dapat dideteksi adanya pendarahan intra
serebral yang memenuhi rongga otak dan mengetahui luas pendarahannya.
Berdasarkan
hal tersebut penulis ingin mengkaji lebih lanjut mengenai teknik pemeriksaan
CT-Scan kepala pada kasus afasia dan mengangkatnya sebagai laporan kasus
dengan judul “ TEKNIK PEMERIKSAAN CT-SCAN KEPALA PADA KASUS AFASIA DI INSTALASI RADIOLOGI RUMAH SAKIT PANTI
RAPIH YOGYAKARTA “.
1.2 Rumusan
Masalah
Bagaimana teknik pemeriksaan CT-Scan
kepala pada kasus Afasia di Instalasi Radiologi RS Panti Rapih Yogyakarta?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk menegetahui teknik pemeriksaan CT-Scan
kepala pada kasus Afasia di Instalasi Radiologi RS Panti Rapih Yogyakarta.
2. Untuk memenuhi laporan mata kuliah Praktek Kerja
Lapangan III
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1
Bagi Penulis
Menambah
pengetahuan dan wawasan penulis tentang prosedur pemeriksaan CT-Scan kepala
pada kasus afasia.
1.4.2 Bagi Akademik
Menambah kepustakaan bagi Jurusan
Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi Politeknik Kesehatan Semarang.
1.4.3 Bagi Rumah Sakit
Memberi
masukan dalam menigkatkan prosedur pemeriksaan CT-Scan kepala pada kasus afasia
guna memberikan pelayanan radiologi yang bermutu dan profesional.
1.5 Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan penulisan laporan
kasus ini, maka penulis menyajikan dalam beberapa pokok bahasan yang
terdiri dari:
BAB I PENDAHULUAN
Yang
meliputi : Latar Belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, dan sistematika
penulisan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Yang
meliputi : Anatomi otak manusia, patofisiologi Afasia, dasar-dasar
CT-Scan dan prosedur pemeriksaan CT-Scana kepala dan indikasi pemeriksaan
CT-Scan Kepala.
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
Terdiri
dari kasus dan pembahasan.
BAB IV PENUTUP
Berisikan simpulan
dan saran
DAFTAR PUSTAKA
Lampiran
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Otak
Otak
merupakan jaringan yang konsistensinya kenyal menyerupai agar-agar dan terletak
di dalam ruangan yang tertutup oleh tulang, yaitu cranium (tengkorak), yang
secara absolut tidak dapat bertambah volumenya, terutama pada orang dewasa.
Jaringan otak dilindungi oleh beberapa pelindung, mulai dari permukaan luar
adalah kulit kepala, tulang tengkorak, selaput otak (meninges), dan cairan
cerebrospinalis. Selaput otak terdiri atas tiga lapisan (dari luar ke dalam) :
duramater, arakhnoid, dan piamater. Di dalam tempat tertentu duramater
membentuk sekat-sekat rongga cranium dan membaginya menjadi tiga kompartemen.
Tentorium merupakan sekat yang membagi rongga cranium menjadi kompartemen
supratentorial dan infratentorial, memisahkan bagian-bagian posterior-inferior
hemisfer cerebri dan cerebelum (Listiono, 1998).
Otak
(encephalon) dapat dibagi dalam tiga komponen utama : hemisfer cerebri (otak
besar), batang otak, dan cerebellum (otak kecil). Cerebri adalah bagian otak
terbesar (85%) yang berasal dari pronsecephalon. Ia terdiri dari sepasang
hemisfer yaang berstruktur sama, yang dipisahkan oleh flax cerebri dan
dihubungkan oleh sekumpulan serabut saraf yang disebut corpus callosum, yang
berfungsi untuk menyampaikan impuls di antara keduanya. Cerebri dari luar ke
dalam tersusun oleh korteks (massa kelabu atau subtansia grisea atau grey
matter), massa putih (subtansia alba), dan massa kelabu yang dikenal sebagai
ganglia basalis (Listiono, 1998)..

Gambar 1. Potongan basis
otak (Woodruff, 1993)
Keterangan
:
1.
Lobus frontalis
2.
Lobus temporalis
3.
Lobus parietalis
4.
Mesencephalon
5.
Pons
6.
Medula
7.
Cerebellum
8.
Lobus oksipitalis
|

Gambar
2. Potongan lateral otak
(Woodruff, 1993)
Keterangan
:
1.
Lobus frontalis
2.
Lobus parietalis
3.
Lobus temporalis
4.
Lobus oksipitalis
5.
Cerebellum
Korteks cerebri (subtansi gricea)
terdiri dari sel-sel saraf. Subtansia alba cerebri berisi serabut-serabut saraf
(akson) dalam saluran-saluran yang menonjol, contoh korona radiata.
Serabut-serabut ini arahnya konvergen, membentuk kapsula interna, di sefalad
otak tengah. Ganglia basalis yang terletak di sebelah dalam cerebri, berbatasan dengan ventrikel III, terdiri
dari nukleus kaudatus, putamen dan globus palidus. Nukleus kaudatus berjalan di
lateral ventrikel lateralis dan talamus. Talamus dan hipotalamus juga termasuk
dalam substanis gricea (Listiono, 1998; Woodruff, 1993).
Di dalam parenkim otak bagian dalam
terdapat empat buah rongga yang saling berhubungan dan berisi cairan
cerebrospinalis. Rongga-rongga ini dibatasi oleh epitel apindema, disebut
ventrikel otak. Sistem ventrikel otak terdiri atas ventriel lateralis kanan dan
kiri, ventrikel III, dan ventrikel IV. Cairan cerebrospinalis dibentuk setiap
hari oleh pleksus khoroideus di dalam ventrikel dan ruang subarakhnoid (Woodruff,
1993).
Batang otak, dari sefalad ke kaudal,
terdiri dari empat komponen utama :
disencephalon, mesencephalon, pons, dan medulla (Woodruff, 1993).
Diencephalon terdiri dari talamus, hipotalamus, epitalamus, dan sub talamus.
Mesencephalon atau otak tengah terdiri dari tektum, tegmentum, substansia
nigra, dan pedunkulus cerebri. Saraf III dan IV keluar dari mesensefalon.
Akuaduktus silvii yang menghubungkan ventrikel III dan IV terletak dalam otak
tengah bagian dorsal. Pons merupakan penghubung antara otak tengah dan medulla
oblongata, terdiri dari bagian ventral (basis) dan bagian dorsal (tegmentum). Ia membentuk komponen utama dari batang
otak dan berlokasi di bagian fossa medio-posterior. Saraf V-VII berasal dari
pons. Permukaan dorsal pons membentuk dasar ventrikel IV. Medulla merupakan
komponen yang paling kaudad dari batang otak. Saraf VIII-XII berasal dari
medula. Medula akan melanjutkan diri ke kaudal sebagai medula spinalis. Medula
meruncing ke kaudal dan bergabung dengan medula spinalis servikal pada foramen
magnum (Listiono, 1998; Woodruff, 1993).
Cerebellum
terletak dorsal dari pons dan medulla dan menempati terbesar dari fossa cerebri
posterior. Cerebellum terdiri dari vermis di garis tengah dan dua lobus lateral
(hemisfer).Seperti hemisfer cerebri, cerebellum terdiri dari korteks (gray
matter) dan bagian tengah (white matter) dengan inti bagian dalam (gray
matter). Cerebellum bergabung dengan tiga segmen batang otak melalui pasangan
pedunkulus : cerebelaris inferior dengan medulla oblongata (Listiono, 1998;
Woodruff, 1993).
Otak diperdarahi oleh dua pasang arteri, yaitu arteri karotis interna dan
arteri vertebralis. Di dalam rongga cranium, keempat arteri ini saling
berhubungan dan membentuk sistem anastomosis, yaitu sirkulus willisi. 2/3
aliran darah cerebri dialirkan kesebagian besar cerebri dan diensefalon melalui
sistem karotis dan 1/3 sisanya dialirkan ke medula oblongata, pons, otak
tengah, lobus temporalis bagian medial dan inferior, lobus parietalis, lobus
oksipitalis, dan cerebellum melalui sistem vertebralis.

Gambar 3. arkus aorta beserta
cabang-cabang besarnya (Osborn, 1994)
Keterangan :
-
11.Arteri subklavia kiri12.Arteri vertebralis kiri13.Arteri vertebralis bergabung menjadi arteri Basilaris13.Sirkulus willisi14.Arteri serebri anterior15.Arteri serebri media16.Arteri mammaria internal17.Trunkus tiroservikal18.Trunkus kostoservikal - Trunkus
brakhiosefalika
- Arteri
subklavia kanan
- Arteri
vertebralis kanan
- Arteri
karotis komunis kanan
- Arteri
karotis interna kanan
- Arteri
karotis eksterna kanan
- Arteri
karotis komunis kiri
- Arteri
karotis interna kiri
- Arteri
karotis eksterna kiri
Darah di
dalam jaringan kapiler otak akan dialirkan melalui venula-venula ke vena serta
didrainase ke sinus duramater. Dari sinus, melalui vena emisaria akan dialirkan ke vena-vena
ekstrakranial. Vena serebral dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu
sistem vena serebral eksterna (drainase darah dari korteks dan subkorteks) dan
sistem vena serebral interna (menerima aliran darah balik dari jaringan otak
yang lebih dalam) (Listiono, 1998).
![]() |
Gambar 4. Sistem vena serebri (Osborn, 1994)
Keterangan
:
- Sinus sagitalis superior 11. Vena septalis
- Sinus sagitalis inferior 12. Vena talamotriata
- Straight sinus 13. Vena labbe
- Torcular herophilli 14. Vena serebri media superfisialis
- Sinus tranversus 15. Vena trolard
- Sinus sigmoid. 16. Sinus kavernosus
- Sinus
oksipitalis 17.
Pleksus venosa klival
- Vena
galen 18.
Sinus petrosa superior
- Vena
basalis 19.
Rosenthal Sinus petrosa inferior
- Vena
serebri interna 20.
Sinus sfenoparietal
2.2 Patofisiologi Afasia
Afasia adalah gangguan fungsi bahasa yang disebapkan cedera
atau penyakit pusat otak. Ini termasuk gangguan kemapuan membaca dan menulis dengan baik, demikian juga bercakap-cakap,
mendengar berhitung, menyimpulkan dan pemahaman terhadap sikap tubuh. Akhirnya digunakan gambaran afasia yang
diprsentasikan. Kira-kira 1-1,5 juta orang dewasa diamerika mengalami kecacatan
kronik afasia.(Smeltzer danBare, 2002).
Afasia adalah gangguan berbahasa akibat gangguan
serebrovaskuler hemisferdominan, trauma kepala, atau proses penyakit. Kebanyakan afasia dan gangguan
terkait akibat stroke, cedera kepala, tumor otak, atau penyakit degeneratif.
Terdapat beberapa tipe afasia, biasanya digolongkan sesuai lokasi lesi. Semua penderita
afasia memperlihatkan keterbatasan dalam pemahaman, membaca,
ekspresi verbal, dan menulis dalam derajat berbeda-beda.
Afasia dibagi menjadi 2, yaitu:
2.2.1
Afasia Motorik
Afasia motorik disebabkan
oleh kerusakan pada lapisan permukaan (lesikortikal) daerah Broca atau pada
lapisan di bawah permukaan (lesi subkortikal) daerah Broca atau juga di daerah
otak antara daerah broca dan daerah Wernicke (lesi transkortikal) (Chaer, 2002:
157).
Kelainan ini ditandai dengan
kesulitan dalam mengkoordinasikan atau menyusun pikiran, perasaan dan kemauan
menjadi simbol yang bermakna dan dimengerti oleh orang lain. Bicara lisan tidak
lancar, terputus-putus dan sering ucapannya tidak dimengerti orang lain.
Apabila bertutur kalimatnya pendek-pendek dan monoton. Seorang dengan kelainan
ini mengerti dan dapat menginterpretasikan rangsangan yang diterimanya, hanya
untuk mengekspresikannya mengalami kesulitan. Jenis afasia ini juga dialami
dalam menuangkan ke bentuk tulisan. Jenis ini disebut dengan disgraphia
(agraphia). Afasia motorik terbagi tiga, yaitu:
·
Afasia Motorik Kortikal
Afasia Motorik Kortikal
berarti hilangnya kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan
perkataaan. Penderita masih mengerti bahasa lisan dan bahasa tulis. Namun,
ekspresi verbal tidak bisa sama sekali; bahasa tulis dan bahasa isyarat masih
bisa dilakukan.
·
Afasia Motorik Subkortikal
Penderita Afasia Motorik
Subkortikal tidak dapat mengeluarkan isi pikiran menggunakan perkataan; masih
bisa mengeluarkan perkataan dengan cara membeo. Pengertian bahasa verbal dan
visual tidak terganggu, dan ekspresi visual pun normal.
·
Afasia Motorik Transkortikal
Afasia Motorik
Transkortikal terjadi karena terganggunya hubungan antara daerah Broca dan
Wernicke. Hubungan langsung antara pengertian dan ekspresi bahasa terganggu.
Penderita Afasia Motorik Transkortikal dapat mengutarakan perkataan singkat dan
tepat; masih menggunakan perkataan penggantinya.
2.2.2
Afasia Sensorik
Penyebab terjadinya afasia sensorik adalah akibat
adanya kerusakan pada lesi kortikal di daerah Wernicke
pada hemisferium yang dominan. Kerusakan di daerah ini menyebabkan kehilangan
pengertian bahasa lisan dan bahasa tulis (Chaer, 2002: 158).
Kelainan ini ditandai dengan kesulitan dalam
memberikan makna rangsangan yang diterimanya . Bicara spontan biasanya lancar
hanya kadang-kadang kurang relevan dengan situasi pembicaraan atau konteks
komunikasi. Namun, penderita masih memiliki curah verbal meskipun hal itu tidak
dipahami oleh dirinya sendiri maupun orang lain.
2.3 Dasar-Dasar CT- Scan
CT-Scan merupakan perpaduan antara teknologi sinar-X, komputer dan televisi. Prinsip
kerjanya yaitu berkas sinar-X
yang terkolimasi dan adanya detektor. Didalam komputer terjadi proses
pengolahan dan perekonstruksian gambar dengan menerapkan prinsip matematika
atau yang lebih dikenal dengan rekonstruksi algoritma. Setelah proses
pengolahan selesai maka data yang telah diperoleh berupa data digital yang
selanjutnya diubah menjadi data analog untuk ditampilkan kelayar monitor.
Gambar yang ditampilkan dalam layar
monitor berupa informasi anatomis irisan tubuh (Rasad, 1992).
Pada CT-Scan prinsip kerjanya hanya dapat
men-scaning tubuh dengan irisan melintang tubuh. Namun dengan memanfaatkan
teknologi komputer maka gambaran axial yang telah didapatkan dapat direformat
kembali sehingga didapatkan gambaran koronal, sagital, oblik, diagonal bahkan
bentuk 3 dimensi dari obyek tersebut ( Tortorici, 1995 )
2.4
Komponen dasar CT-Scan ( Tortorici, 1995
)
CT-Scan mempunyai
2 komponen utama yaitu scan unit dan operator konsul. Scan unit
biasanya berada di dalam ruang pemeriksaan sedangkan konsul letaknya terpisah
dalam ruang kontrol. Scan unit terdiri dari 2 bagian yaitu meja
pemeriksaan (couch) dan gantry (Bontrager, 2001).
Bagian – bagian dari scan unit :
2.4.1 Gantry
Di dalam CT-Scan, pasien berada di atas
meja pemeriksaan dan meja tersebut bergerak menuju gantry. Gantry
ini terdiri dari beberapa perangkat yang keberadaannya sangat diperlukan untuk
menghasilkan suatu gambaran, perangkat keras tersebut antara lain tabung
sinar-X, kolimator, dan detektor.
Ø Tabung sinar-X
Berdasarkan stukturnya tabung sinar-X sangat
mirip dengan tabung sinar-X konvensional namun perbedaannya terletak pada
kemampuannya untuk menahan panas dan output yang tinggi. Panas yang cukup
tinggi disebabkan karena perputaran anoda yang tinggi dengan elektron-elektron
yang menumbuknya. Ukuran fokal spot yang kecil (kurang dari 1 mm) sangat
dibutuhkan untuk menghasilkan resolusi yang tinggi.
Ø Kolimator
Kolimator berfungsi untuk mengurangi radiasi
hambur, membatasi jumlah sinar yang sampai ke tubuh pasien serta untuk
meningkatkan kualitas gambar. CT-Scan menggunakan 2 buah kolimator yaitu
pre pasien kolimator dan pre detektor kolimator.
Ø Detektor
Selama eksposi berkas sinar-X (foton) menembus
pasien dan mengalami perlemahan (atenuasi). Sisa-sisa foton yang telah
teratenuasi kemudian ditangkap oleh detektor. Ketika detektor-detektor menerima
sisa-sisa foton tersebut, foton berinteraksi dengan detektor dan memproduksi
sinyal dengan arus yang kecil yang disebut sinyal output analog. Sinyal ini
besarnya sebanding dengan intensitas radiasi yang diterima. Kemampuan
penyerapan detektor yang tinggi akan berakibat kualitas gambar lebih optimal.
Ada 2 tipe detektor yaitu solid state dan isian gas.
2.4.2
Meja pemeriksaan (couch)
Meja pemeriksaan merupakan tempat untuk memposisikan
pasien. Meja ini biasanya terbuat dari fiber karbon. Dengan adanya bahan ini
maka sinar-X yang menembus pasien tidak terhalangi jalannya untuk menuju ke
detektor. Meja ini harus kuat dan kokoh mengingat fungsinya untuk menopang
tubuh pasien selama meja bergerak ke dalam gantry.
2.4.3 Sistem konsul
Konsul tersedia dalam berbagai variasi. Model
yang lama masih menggunakan dua sistem konsul yaitu untuk pengoperasian CT-Scan
sendiri dan untuk perekaman dan untuk pencetakan gambar. Model yang terbaru
sudah memakai sistem satu konsul dimana memiliki banyak kelebihan dan banyak
fungsi. Bagian dari sistem konsul yaitu, sistem kontrol, sistem pencetak
gambar, dan sistem perekaman gambar.
2.5 Parameter CT-Scan
Dalam CT-Scan dikenal beberapa parameter untuk
pengontrolan eksposi dan output gambar yang optimal. Adapun parameternya adalah
:
2.5.1.
Slice thickness
Slice thickness adalah tebalnya irisan atau
potongan dari obyek yang diperiksa. Nilainya dapat dipilh antara 1 mm-10 mm
sesuai dengan keperluan klinis. Ukuran yang tebal akan menghasilkan gambaran
dengan detail yang rendah sebaliknya ukuran yang tipis akan menghasilkan detail
yang tinggi. Jika ketebalan meninggi maka akan timbul artefak dan bila terlalu
tipis akan terjadi noise.
2.5.2 Range
Range adalah perpaduan/kombinasi dari beberapa
slice thickness. Pemanfaatan range adalah untuk mendapatkan ketebalan irisan
yang berbeda pada satu lapangan pemeriksaan.
2.5.3 Faktor eksposi
Faktor eksposi adalah faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap eksposi meliputi tegangan tabung (KV), arus tabung (mA)
dan waktu eksposi (s). Besarnya tegangan tabung dapat dipilih secara otomatis
pada tiap-tiap pemeriksaan.
2.5.4 Field of View (FOV)
FOV adalah diameter maksimal dari gambaran yang
akan direkonstruksi. Besarnya bervariasi dan biasanya berada pada rentang 12-50
cm. FOV yang kecil akan meningkatkan resolusi karena FOV yang kecil mampu,
mereduksi ukuran pixel, sehingga dalam rekonstruksi matriks hasilnya lebih
teliti. Namun bila ukuran FOV lebih kecil maka area yang mungkin dibutuhkan
untuk keperluan klinis menjadi sulit untuk dideteksi.
2.5.5.
Gantry Tilt
Gantry tilt adalah sudut yang dibentuk antara
bidang vertikal dengan gantry (tabung sinar-X dan detektor). Rentang penyudutan
antara -25 sampai +25 derajat. Penyudutan gantry bertujuan untuk keperluan
diagnosa dari masing-masing kasus yang dihadapi. Disamping itu bertujuan untuk
mengurangi dosis radiasi terhadap organ-organ yang sensitif.
2.5.6.
Rekonstruksi matriks
Rekonstruksi matriks adalah deretan baris dan
kolom dari picture element (pixel) dalam proses perekonstruksian gambar.
Rekonstruksi matriks ini merupakan salah satu struktur elemen dalam memori
komputer yang berfungsi umtuk merekonstruksi gambar. Pada umumnya matriks yang
digunakan berukuran 512 x 512 yaitu 512 baris dan 512
kolom.
Rekonstruksi matriks berpengaruh terhadap resolusi gambar. Semakin tinggi
matriks yang dipakai maka semakin tinggi resolusinya.
2.5.7. Rekonstruksi
Algorithm
Rekonstruksi algorithm adalah prosedur metematis yang digunakan
dalam merekonstruksi gambar. Penampakan dan karakteristik dari gambar CT- Scan
tergantung pada kuatnya algorithma yang dipilih. Semakin tinggi resolusi
algorithma yang dipilih maka semakin tinggi resolusi gambar yang akan
dihasilkan. Denagn adanya metode ini maka gambaran seperti tulang, soft tissue,
dan jaringan-jarringan lain dapat dibedakan dengan jelas pada layar monitor.
2.5.8.
Window width
Window
width adalah rentang nilai computed tomography yang dikonversi menjadi gray
levels untuk ditampilkan dalam TV monitor. Setelah komputer menyelesaikan
pengolahan gambar melalui rekonstruksi matriks dan algorithma maka hasilnya
akan dikonversi menjadi skala numerik yang dikenal dengan nama nilai computed
Tomography. Nilai ini mempunyai satuan Hu (Hounsfield Unit).
2.5.9.
Window level
Window level adalah nilai tengah dari window yang
digunakan untuk penampilan gambar. Nilainya dapat dipilih dan tergantung pada
karakteristik perlemahan dari struktur obyek yang diperiksa. Window level
menentukan densitas gambar yang akan dihasilkan.
2.6 Prosedur Teknik Pemeriksaan CT Scan Kepala, (Nuttawan Jaengsri, 2004)
Prosedur adalah urutan dari rangkaian pemeriksaan yang harus diikuti.
Prosedur teknik pemeriksaan CT Scan meliputi, persiapan pasien, posisi pasien, scout
view, menentukan parameter scan yang tepat,
sampai mendapatkan kualitas gambar CT Scan yang baik.
Adapun prosedur pemeriksaan CT Scan kepala, meliputi :
2.6.1
Persiapan Pasien : berikan penjelasan kepada pasien tentang prosedur
pemeriksaan, jika diperlukan injeksi media kontras dianjurkan bagi pasien untuk
puasa.
2.6.2
Posisi
pasien : supine di atas meja pemeriksaan; head first. Atur posisi kepala
sehingga OML vertikal tegak lurus.
2.6.3 Volume investigasi : dari foramen magnum
sampai vertex.
2.6.4
Scan parameter :
2.6.4.1. Slice thickness : 2-5 mm pada daerah fossa posterior (foramen
magnum sampai tentorium); 5-10 mm pada daerah hemisfer (tentorium sampai
vertex).
2.6.4.1. Inter-slice distance/pitch : 1.0
2.6.4.2.
FOV : kira-kira 24 cm.
2.6.4.3.
Gantry tilt : 10-120 parallel dengan supra orbito meatal baseline
(untuk mereduksi dosis radiasi pada orbita).
2.6.4.4.
kV : standard
2.6.4.5.
mA : diatur sesuai dengan kualitas gambar yang
diperlukan.
2.6.4.6.
Rekonstruksi
algorithm : soft tissue
2.6.4.7.
Window width : 0-90 HU
(supratentorial brain), 140-160 HU (brain pada daerah fossa posterior),
2000-3000 HU (bone)
2.6.4.8.
Window level : 40-45 HU
(supratentorial brain), 30-40 HU (brain pada daerah fossa posterior), 200-400
HU (bone).
2.6.5.
Kriteria kualitas gambar CT
kepala
2.6.5.1.
Kriteria visualisasi pencitraan
: cerebrum, cerebellum, basis cranii.
2.6.5.2.
Kriteria gambar :
a.
Tampak jelas batas tegas
antara substansia alba dan substansia
gricea
b.
Tampak jelas daerah basal
ganglia
c.
Tampak jelas sistem ventrikel
d.
Tampak jelas ruang CSF di
sekitar mesencephalon dan mengelilingi otak
1.
Potongan axial
pertama

Gambar 5
(Bontrager, 2001)
Keterangan:
Gambar 5 Gambar irisan CT Scan
A.
Bola mata
B.
Nervus optikus kanan
C.
Kiasma optik
D.
Lobus temporal
E.
Pons/otak tengah
F.
Cerebelum
G.
Lobus oksipital
H.
Air cel mastoid
I.
Sinus sphenoid atau sinus
ethmoid
2.
Potongan axial
keempat

Gambar 6
(Bontrager, 2001)
Keterangan:
A.
Korpus kalosum anterior
B.
Anterior horn ventrikel lateral
kiri
C.
Ventrikel tiga
D.
Kelenjar pineal
2.7 Indikasi pemeriksaan CT-Scan
kepala
a.
Suspect neoplasma, massa, lesi
atau tumor pada otak
b.
Metastase pada otak
c.
Perdarahan intrakranial
d.
Aneurysma
e.
Abses
f.
Afasia
g.
Posttraumatic abnormalities
h.
Acquired atau kelainan
kongenitaProtuberantia oksipital interna
BAB III
HASIL
DAN PEMBAHASAN
3.1
Hasil
Identitas Pasien
Nama : Bp. Sukino
Umur : 46 th
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Babadab 1 Mojokerto
No. RM : 914822
No. Foto : 1435690
Tanggal foto : 11-10-2014
Pemeriksaan : MSCT Head
Indikasi :
Obstruksi Aphasia dengan kejang dan HT emergency DD CVA
3.2 Prosedur Pemeriksaan
3.2.1 Persiapan Alat
1)
Pesawat CT-Scan
Spesifikasi pesawat yang digunakan :
Merk :
Siemens
Type :
Somatom Sensation
2)
Head Holder
3)
Restraining straps untuk tubuh dan tangan pasien.
4)
Saluran oksigen sentral.
5)
Laser Imager : AGFA
3.2.2 Persiapan Pasien
Tidak ada persiapan khusus dikarenakan pasien dalam kondisi tidak sadar. Dilakukan pengecekan apakah pada daerah kepala pasien terdapat
benda yang dapat mengganggu gambaran atau artefak.
3.2.3
Protocol Scaning
3.2.3.1 Posisi
Pasien :
·
Pasien supine diatas meja
pemeriksaan
·
Orientasi head first, kepala
diatas head rest.
·
Lampu indikator longitudinal
tepat di MSP.
·
Interpupillary line sejajar
dengan lampu horisontal.
·
MAE ditengah gantry.
3.2.3.2 Parameter
scaning :
Scanogram
: kepala lateral
Range
: dari
basis crania sampai vertex
Slice
thickness : 5,0 mm (reange 1)
FOV : 256 mm
Gantri
tilt : 0,0
Scan
time :13,45 s
Time
delay : 4 s
kV
: 120
mAs
: 380
Gambar 7. Topogram
3.2.3.3 Scan
View
Scan Time : 0,2 sekon
Slice thickness : 0.6 mm
kV : 120
mAs : 35
Fungsi scan view sebagai parameter untuk mengetahui
apakah posisi pasien sudah tepat
3.3 Hasil Pembacaan Radiologist
Sulci
dalam batas normal
Systema
ventriculair dalam batas normal
Cisterna
basalis, quadrigemina normal
Tampak
lesi hypodens kecil di thalamus sinistra
Tampak
lesi hiperdensi di pons Varoli, pedunculus cerebri dan hemisphere
Cerebella
sinistra dengan tepi irregulair berbatas tegas amorph, diameter terbesar 2,82 x
3,13 x 4,38 cm
Lesi
hyperdens kecil di thalamus sinistra dan nucleus lentiformis bilateral
Tidak
tampak ‘mass effect’ maupun ‘midline shift’
Differensiasi
grey – white mater normal
Kesan:
Multiple
intracerebral hematoma (pons, peduncus cerebri, hemisphere cerebelli sinistra,
thalamus sinistra & nucleus lentiformis billateral)
Lacunar
infarct cerebri thalamus sinistra
Gambar 8. Potongan Sagital dan Coronal
(Tampak hematoma pada batang otak)
Gambar 9. Potongan Axial
3.4 Pembahasan
Berdasarkan
hasil pengamatan penulis, pemeriksaan CT-Scan
kepala pada kasus afasia di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta pada dasarnya sama dengan
pemeriksaan CT-Scan kepala secara umum.
Posisi pasien pemeriksaan CT Scan kepala pada
kasus afasia di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta adalah
head first dari basis sampai vertex. Pasien diposisikan supine diatas meja
pemeriksaan, kepala pasien diberi head holder agar pasien nyaman dan tidak
rotasi, pasien diberi selimut agar tidak merasa dingin selama scanning dilakukan,
atur restraining straps dan atur pasien sampai masuk gantry, lalu atur laser
imager setinggi IOML.
CT kepala di RSPR menggunakan 1 range ( 5 mm ) dengan
potongan gambaran axial, coronal, dan sagital sehingga dapat memberikan
informasi yang lebih optimal dalam menegakkan diagnosa. Potongan coronal dan
axial didapat dari hasil rekonstruksi potongan axial di irisan tipis ( 0,6 ).
Volume pendarahan diukur dengan pengukuran HU,
diameter, midline shift dan volume.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1.
Pemeriksaan CT-Scan kepala pada
kasus afasia
di Instalasi Radiologi RSPR dilakukan dengan teknik 1 range dengan slice
thicknes 5 mm.
2.
Proses image dilakukan
pengukuran pada perdarahan dengan pengukuran HU, diameter, midline shift dan
volume.
4.2 Saran
Sebaiknya saat melakukan
pemindahan pasien dari branka ke meja pemeriksaan tidak dilakukan sambil
bercanda, terutama pada pasien emergency dari IGD.
DAFTAR PUSTAKA
Ballinger, P. W, 1995, Radiographics
Positions and Radiological Procedures, Edisi VIII, Volume III, Mosby Inc.,
Missiouri
Herdman,
T.H. 2011.NANDA Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi2009-2011.
Jakarta: FKUI.Herdman,T.H.2012. Nanda Internasional Diagnosis Keperawatan definisi dan Klasifikasi
2012-2014
. Jakarta :EGC.
Wibowo, Daniel, 1994, Anatomi
Susunan Saraf Pusat, Cetakan I, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
http://kelasbpbsiunm2010.blogspot.com/2012/06/nur-azisah-105104031-gangguan-berbahasa.html
Comments
Post a Comment